Di Gurun-gurun
Pengasingan
Musim
semi demi musim semi,
di
gurun-gurun pengasingan ini,
mau
apa kami dengan cinta kami,
bila
mata penuh debu dan udara beku begini?
Tanah
kami yang hijau, Palestina kami,
bunga-bunganya
seakan sulaman pada gaun wanita kami,
bulan
Maret menghiasi bukit-bukitnya
dengan
bunga narsis dan kembang piun seindah permata,
bulan
April mekar di padang-padang terbuka
dengan
kembang dan bunga-bunga bagai pengantin jelita,
bulan
Mei adalah nyanyian pedesaan kami
yang
kami nyanyikan selalu
di
tengah hari di bawah bayang-bayang biru
pohon-pohon
zaitun di lembah-lembah kami,
sementara
di ladang-ladang yang bermasakan
kami
menunggu janji bulan Juli
dan
tarian riang di tengah panenan.
O,
tanah kami di mana masa kanak kami
berlalu
bagai mimpi
di
bawah lindap kebun jeruk,
di
antara pohonan badam di lembah kami,
kenanglah
kami kini
yang
mengelana di tengah-tengah duri-duri di gurun yang gersang,
yang
mengelana di gunung-gunung karang,
kenanglah
kami kini,
yang
berada di tengah gebalau kota-kota
di
seberang gurun-gurun dan laut-laut raya
dengan
mata penuh debu dalam pengembaraan yang tak ada habis-habisnya.
Mereka
merusak bunga-bunga di bukit-bukit sekeliling kami,
menghancurkan
rumah-rumah yang melindungi kami,
menghamburkan
koyak-moyak sisa tubuh kami,
kemudian
membentangkan gurun di muka kami dengan lembah-lembah
yang
menggeliat-geliat dalam kelaparan
dan
bayang-bayang biru yang sirna menjadi duri-duri merah
menaungi
mayat-mayat yang ditinggalkan
sebagai
mangsa gagak dan elang.
Tidakkah
dari bukit-bukitmu
para
malaikat menyanyi pada gembala-gembala
tentang
damai di bumi dan persahabatan antar manusia?
Hanya
maut yang akan ketawa
bila
di antara isi perut hewan-hewan dilihatnya
tulang-tulang
rusuk manusia.
Dan
lewat peluru-peluru yang terbahak ketawa,
ia
tampil menarikan tarian gembira
di
atas kepala-kepala para wanita yang meratap duka.
Tanah
kami zamrud berkilauan,
tetapi
di gurun-gurun pengasingan,
musim
semi demi musim semi,
hanya
debu yang bersiut di wajah kami.
Maka
mau apa lagi dengan cinta kami
bila
mata dan mulut kami penuh debu dan udara beku begini?
Jabra Ibrahim Jabra dilahirkan di
Betlehem, Palestina pada tahun 1919. Puisi ini diterjemahkan oleh Hartojo
Andangdjaya