(Shella
Andelica, Finalis Nong Tangerang dan buku Mazmur Musim Sunyi)
Pendapat
Para Penulis tentang Buku Mazmur Musim Sunyi
Keberhasilan
Sulaiman Djaya adalah memainkan personifikasi dan hiperbola dalam setiap
puisi-puisinya. Material dihidupkan oleh teknik seorang penyair, bukan alami.
Ini salah satu gaya yang dimiliki oleh SD (Heri Maja Kelana, penulis dan
pecinta sepeda).
Puisi-puisi
penyair Sulaiman Djaya yang terkumpul dalam buku Mazmur Musim Sunyi ini
menyiratkan keseimbangan kecerdasan pikiran dan tangan sebagai “sekembar” aktus
intelegensia itu sendiri. Bagi penulis, gagasan itu di dalam tangan yang
sekaligus bekerja kompak dengan intuisi dan pikirannya. Terlihat juga dalam
beberapa sajaknya yang prosaik, selain sajak-sajaknya yang tertib laiknya
puitika kwatrin itu, menampilkan diri dengan lincah sekaligus rileks (M.
Taufan, penyair tinggal di Bekasi).
Di
dalam bis, di Smoking Area saya buka buku Mazmur Musim Sunyi. Saya
menemukan puisi berjudul "Monolog". Ada bagian menarik di puisi itu,
seperti berikut: Saya tahu seorang penyair harus belajarmenulis puisi
yang kata pertamanya bukan aku. Saya merenungi kalimat tersebut. Seorang
penyair harus belajar menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku.
"Aku" ini, aku sebagai kediriankah? Jika memang demikian, saya
setuju. Penyair harus bisa menulis puisi yang tidak hanya berkutat dengan
kediriannya, sebab ada banyak hal di luar diri yang juga penting dan esensial
untuk dituliskan (Lutfi Mardiansyah, penyair tinggal di Sukabumi).
Simbol-simbol
waktu yang ditanam Sulaiman Djaya dalam puisi-puisinya mengingatkan pada sumpah
Tuhan atas nama makhluknya, yakni “Demi Waktu”. Keberadaan waktu dalam
kehidupan memang misterius. Ia seperti sangat jauh padahal begitu dekat.
Seperti sangat renggang padahal begitu rapat dengan tubuh dan ruh manusia (M.
Rois Rinaldi, penulis tinggal di Cilegon).
Akan
banyak sekali yang ditemukan dari puisi-puisi yang terhimpun dalam Mazmur Musim
Sunyi Sulaiman Djaya ini, yang secara tanpa sadar menggunakan citraan
warna-warna untuk menandakan benda-benda. Sebut saja “putih beludru” dalam
puisi “Memoar”, “November yang agak ungu” untuk latar waktu pada puisi “Surat
Cinta”, “mendengar putih bintang-bintang”, “tahun-tahun adalah kibasan perak
warna kelabu yang jadi biru”, “hijau musim di wajahmu yang matang”, “senja
tampak marun”, “langit kuning bulan Mei”, “akhirnya datanglah Desember putih”,
dan masih banyak lagi yang lainnya yang kemudian dapat disandingkan dengan
penanda waktu (Mugya Syahreza Santosa, penyair tinggal di Bandung).
Sulaiman
Djaya adalah sastrawan yang selalu riang gembira dalam pelbagai
kesempatan. Ia termasuk sastrawan yang produktif. Terakhir ia menerbitkan
antologi puisinya yang berjudul Mazmur Musim Sunyi. Sastrawan yang lebih pas
disebut penyair ini, selain menulis puisi dan esai sastra, juga kerap menulis
tentang kajian-kajian kebudayaan. Sehingga belakangan ia juga disebut
budayawan. Tetapi sekali lagi, ia lebih pas disebut penyair. Puisi-puisinya
memiliki warna airmuka yang begitu dekat kaitannya dengan “hakikat kehidupan”.
Jika sekilas dibaca, puisi-puisinya seperti puisi cinta biasa, akan tetapi jika
diselami lebih dalam, ada warna “teologis”, semisal yang bercitarasa sufistik. Sumber:
Tabloid Ruang Rekonstruksi Edisi Desember 2013.
(Nazar Shah Alam, penyair
dan buku Mazmur Musim Sunyi)