Puisi Sulaiman Djaya
Di seruangku yang
dingin dan biasa ini, jarum jam telah lama
menjauh dari angka
tujuh. Lampu dan buku-buku
seakan tengah
merenungi bayang-bayang wajahku.
Jika maut yang kau-bayangkan
sedingin ciuman
dan kabut yang
kaupandang adalah gairah yang terpendam,
aku akan tergoda
menulis sebuah sajak tentang malam
yang begitu panjang di
jalan-jalan kota yang kau-khayalkan.
Aku akan tergoda
membayangkan dunia seperti
segerbong kereta yang
lengang. Dengan hujan yang lambat
dan angin yang
tersendat di antara jendela-jendelanya.
Dan hasratku-hasratmu
saling menabung bisu
di dua matamu-mataku. Begitu
dingin malam di seruang bacaku
yang mungil dan biasa
ini. Dengan selampu kamar yang patuh
menghangatkan setiap
huruf sajak-sajakku.
Aku tergoda dan tak
kuasa membayangkan kau dan aku
sebagai dua bidak yang
kasmaran dan sama-sama terbius malam.
Kegelapan memintal waktunya
sendiri, waktu yang memandang
dan terlelap di antara
jalan-jalan dan gerimis yang menyelam
antara keheningan dan
gerak samar dedaunan,
waktu yang adalah
engkau, perempuanku.
(Jakarta 2011).
Sumber: Tuah Tara No Ate:
Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastrawan IV
(2011),
UMMU Press. Hal. 459.