Label
- Arsip Sajak (67)
- Book Review (18)
- Galeri (21)
- Inspirasi (6)
- Khazanah (67)
- Kronik Sastra (18)
- Prosa (11)
Jumat, 07 Mei 2021
Sulaiman Djaya | Elegi Kirmizi | Asep S Bahri & Mayang Santika
Rabu, 17 Maret 2021
Jumat, 12 Maret 2021
Sulaiman Djaya | SAMARA | M Rois Rinaldi (2)
Rabu, 10 Maret 2021
Sulaiman Djaya | Sundakala | Novia Fitria
Minggu, 07 Maret 2021
Sulaiman Djaya | SAMARA | Rony M Khalid (3)
Selasa, 09 Februari 2021
Selasa, 26 Januari 2021
Puisi-puisi Sulaiman Djaya tentang Jakarta
DI HALTE
Di halte aku memandangi ragam rupa
Lalulalang, orang-orang yang menunggu, juga rasa bosan.
Hujan yang reda tak membuat kaca-kaca
Jadi gambar senja. Lampu-lampu jalan mulai menyala
Tapi kota-kota dibangun dari lupa.
Tak kudapatkan burung-burung di cakrawala
Diantara gedung-gedung bertingkat
Yang kubayangkan seperti mainan masa kanak.
Hanya langit yang tampak gelap
Dan aroma karbondioksida.
Ke seberang jalan kulihat penyanyi jalanan
Asik berdendang di barisan kemacetan.
Hanya samar-samar kudengar
Ia memainkan senar-senar gitar
Dengan riang, dan lalu menghilang.
(Jakarta 2002)
DI SEBUAH SORE
Lewat
sebuah kaca,
senja
kulihat duduk menatapmu.
Orang-orang
sibuk dengan pekerjaan mereka,
sebagian
telah beranjak pulang
dengan
keresahan yang tak mereka ungkapkan.
Sayangku,
katakan apa yang ingin kaukatakan
sebelum
malam datang
dan kau
jadi lupa
pada
semua yang kelak tinggal.
Kota
masih menyisakan sudut-sudut yang sama,
dan
tepikir sejenak
kulangkahkan
kakiku ke tempat
di mana
kau pernah teramat jatuh cinta
pada
selembar garis cahaya
antara
langit sore hari
dan
atap gedung-gedung bertingkat.
Seakan
aku membayangkan
ingatan
menuju menuju rumahmu dipenuhi burung-burung senja
dengan
keheningan yang menggoda
seperti
sebelum-sebelumnya.
Terduduk
sendiri di ruang ini
di
antara kertas-kertas
dan
sebaris detak jam dinding,
aku
memikirkan sebuah kalimat puisi
seperti
sepasukan gerimisku tadi malam.
(Jakarta
2011)
Sumber: Tuah Tara No Ate: Bunga Rampai Cerpen dan Puisi Temu
Sastrawan Indonesia Ke-4 di Ternate 25-29 Ontober 2011, Ummu Press h. 458.
DI KOTA TUA JAKARTA
Kota
ini sebuah riwayat
Para
saudagar dan syahbandar
Di
hiruk-pikuk dan lalu-lalang bandar
Dari
sejak Taruma
Hingga
masa Hindia Belanda.
Tugu
dan gedung-gedung tua
Adalah
kisah penaklukan
Juga
pemberontakan
Atas
nama agama
Dan
komoditas dagang.
Aku dan
perempuan Eropa-ku
Singgah
di Café Batavia
Dan aku
hanya bisa tertawa
Saat ia
melantunkan selagu jazz lama
Tentang
kesepian dan cinta.
“Fly me
to the moon……
Let me
play among the stars…..”
Tapi
yang kubayangkan
Adalah
kepak para unggas
Di atas
gugusan ranca
Sebelum
noni-noni Belanda
Menyebutnya
Batavia.
Di
Sunda Kelapa,
Orang-orang
dari ragam suku dan bangsa
Sibuk
dengan pekerjaan mereka
Dan
tentu saja tak ada lagi Fatahillah
Atau
Pengeran Jayakarta
Meski
nama mereka masih terbaca
Sekedar
artefak di museum tua
Sebagaimana
halnya benda-benda
Dan
bangunan-bangunan lama
Yang
kusam dan berkarat
Oleh
waktu. Kota ini adalah riwayat
Banyak
bangsa. Seperti perempuan Eropa-ku
Yang
datang karena kisahnya.
(Jakarta
2011-Serang 2019)
Sumber: Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta
Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan
Yayasan Hari Puisi, halaman 159.
KWATRIN JAKARTA
Dari
titik sebuah trotoar, ketika warna hitam
sudah
sedemikian akrab, setiang lampu di taman jalan
memang
lebih indah dibanding tugu.
Tak ada
ujung atau tanjung
ketika
hatiku ingin sejenak berlabuh.
Atau
langkah-langkah hijrah sepasukan kijang
ketika
aku hanya ingin sekedar membayangkan
kau
asyik menerka tokoh utama sebuah cerita
yang
hanya ada dalam lipatan sampul anggun.
Tetapi
dulu, barangkali, di kota ini,
ada
saat ketika bebek-bebek liar
tak
sanggup menawan arah pancaroba
di
kubangan-kubangan ranca, antara Krukut
dan
langit berkabut Kebayoran Lama.
Barangkali
dulu, di kota ini, nasib pun
serupa
gerimis, atau semisal cahaya matahari
yang
menjelma seperti api senjahari.
Lumut,
juga daun-daun, mungkin bertafakkur,
dihembuskan
mulut-mulut tahun
semisal
mendung yang cemburu pada rambutmu.
(2011)
Sumber: Koran Tempo, 17 Maret 2013
Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisan-tulisannya pernah
dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Media
Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten,
Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang
Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, Banten News, Majalah
Sastra Kalimas, basabasi.co, langgar.co, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya
Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan
puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa
Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi
Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar),
Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku
Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara
VI di Jambi Tahun 2012)), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta
Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan
Yayasan Hari Puisi, Antologi Puisi ‘NUN’ Yayasan Hari Puisi Indonesia 2015, dan
lain-lain.