Sebagai seorang yang pernah akrab dengan kitab
kuning di dunia pesantren, saya mendapatkan hal baru ketika berjumpa literatur
dan buku-buku filsafat, dari ateisme hingga Marxisme ketika beberapa tahun
numpang duduk di kelas di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat sebuah kampus Islam di Ciputat, yang bersamaan dengan itu saya ikut
aktif dalam sebuah forum studi dan kajian para mahasiswa di kawasan
Semanggi-Ciputat. Kemudian segera mengenal seni atau khazanah dan produk-produk
kultural yang terkait dengan Marxisme dan gerakan-gerakan kiri, semisal
mengenal penyanyi yang bernama Nathalie Cardone dan Ibrahim Ferrer yang
menyenandungkan lagu tentang Che Guevara: Hasta Siempre. Sejak itu, yang
namanya Marxisme, ateisme, buku-buku para filsuf Syi’ah bukan lagi sebagai
bacaan-bacaan yang tabu bagi saya –sembari menikmati lagu-lagunya Ibrahim
Ferrer dan Nathalie Cardone.
Begitulah, ada masa-masa ketika saya mencampakkan
Islam, masa-masa ketika saya bergairah mencandra filsafat Barat dan khazanah
ateisme. Masa-masa itu kemudian berakhir ketika saya membaca buku-buku yang
ditulis para intelektual Islam Syi’ah Iran –dan segera saya pun kembali
menemukan Islam, dan tentu saja dengan pemahaman yang berbeda, bahkan merasa
menemukan Islam yang memang sudah lama hilang dan disembunyikan dari narasi
sejarah tradisi Islam saya sebelumnya.
Saya mengenal Islam, dan kemudian “menghidupinya”, mula-mula
tentulah karena saya lahir dari keluarga muslim –yang seperti nanti akan saya
paparkan, berbeda dengan ketika saya berkenalan dengan sastra secara khusus,
dan kesenian secara umum. Saya dididik dalam tradisi Islam sejak kanak-kanak
oleh almarhumah ibu saya sendiri –sebelum saya belajar Islam, utamanya Al-Qur’an,
kepada ustad-ustad saya di kampung, dan belajar fikih, nahwu, sharaf di
pesantren selepas saya lulus sekolah menengah pertama. Namun, ada persamaan
mendasar: Islam dan Sastra yang saya kenali dan saya akrabi ada dan hadir dalam
sebuah “tradisi”, yang pertama tradisi keagamaan dan yang kedua tradisi
pendidikan sekuler.
Awalnya, saya mengenal dan mengakrabi Islam dengan
anggapan bahwa Islam merupakan agama yang hanya berkenaan dengan tauhid dan
ibadah ritual semata –yang kemudian anggapan itu berubah ketika saya menjadi
mahasiswa di sebuah perguruan tinggi Islam di Ciputat. Di fase inilah, saya
menjadi seorang yang kembali mencari Islam –setelah saya berkenalan dengan
Islam yang telah saya katakan itu, yang kemudian tanpa sengaja, saat saya
bergelut dengan dunia kajian mahasiswa di Ciputat, saya menjumpai Islam yang
demikian luas: sebagai sebuah khazanah sekuler dan wawasan peradaban.
Dengan apa yang saya paparkan itu, dapatlah dikatakan,
perkenalan saya dengan Islam, setelah perkenalan dari tradisi di kampung dan
dalam keluarga sendiri, yang kemudian juga perkenalan saya dengan sastra,
kemudian karena sebuah pergulatan, meski mula perjumpaannya bisa dibilang
sebagai kebetulan, yang barangkali dengan bahasa lain dapat disebut karena
“takdir”. Adalah juga sebuah kebetulan –yang barangkali memang takdir, saya
berkenalan dengan dunia kajian di luar kuliah dan kemudian merasa nyaman dengan
dunia tersebut, setelah salah-seorang teman saya, yang justru kuliah di Sekolah
Tinggi Filsafat Diryarkara, mengajak saya untuk hadir di sebuah diskusi tentang
Karl Marx.
Saya merasa perlu memaparkan hal tersebut tak lain
karena perjumpaan dengan dunia dan “tradisi” yang lain itu telah memperkaya
pemahaman saya tentang Islam, sebelum bersamanya pula saya berkenalan dan
kemudian akrab dengan sastra –juga terjadi di Ciputat. Bila di keluarga sendiri
dan di pesantren saya hanya belajar Al-Qur’an, fikih, nahwu, sharaf, di Ciputat
itulah saya jadi tahu bahwa Islam juga berkenaan dengan sejarah, peradaban,
pemikiran, bahkan seni, dan tentu pula kesusastraan. Itu semua merupakan
hal-hal baru, juga khazanah baru –yang kemudian memancing minat saya, ditambah
lagi forum kajian yang saya ikuti menyelenggarakan jadwal kajian Islamic
Studies secara berkala seminggu sekali.
Andai saya tidak memilih Ciputat, mungkin ceritanya
akan lain. Sekedar informasi, saya juga mendaftarkan diri saya ke IAIN Maulana
Hasanuddin Banten, selain ke Ciputat, dan kebetulan diterima di kedua kampus
tersebut. Namun, entah karena dorongan apa, yang saya tak ingat lagi, saya
memutuskan untuk memilih Ciputat, memilih IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah
di Ciputat, dan kemudian menjalani masa-masa yang bersahaja namun bergairah
dalam dunia kajian mahasiswa di luar jam kuliah –mengakrabi filsafat, bahkan
sempat meninggalkan tradisi ritual keagamaan saya karena terpengaruh
wacana-wacana filsafat ateisme, hingga tak jarang saya melontarkan hal-hal yang
“tabu” menyangkut Islam.
Tetapi waktu memang terus berjalan, dan saya diberi
kesempatan menikmati rahmat terbesar saya dari Tuhan –yaitu usia, hingga saya
kemudian berkenalan dengan khazanah dan diskursus pemikiran Islam, “dunia”
filsafat dan pemikiran dari para penulis Islam yang bermazhab Syi’ah, semisal
Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari, Syahid Sayid Muhammad Baqir Sadr, dan Ali
Syari’ati –yang pelan-pelan mengembalikan saya ke Islam. Demikian lah
perkenalan saya berlanjut hingga membaca buku-bukunya Mohammed Arkoun, Syed
Hossein Nasr, Fazlur Rahman, dan yang lainnya. Dari sanalah, saya menjumpai
Islam sebagai kekayaan yang lain, dalam arti bukan semata wacana fikhiyyah –dan
yang tak diragukan lagi, telah membuka mata saya tentang keberadaan khazanah
ilmu Islam yang sebelumnya tidak saya ketahui.
Di Ciputat itulah, saya berkenalan dengan pemikiran
dan tulisan-tulisan Karl Marx dan Marxisme, yang kemudian tanpa sengaja,
beberapa bulan kemudian, berkenalan dengan Marx-nya Islam, yaitu Ali Syari’ati.
Sembari terus mengakrabi filsafat Barat dan kesusastraan, saya membaca
tulisan-tulisan para filsuf, ulama, dan penulis Islam bermazhab Syi’ah, tentu
juga khazanah Islam lainnya. Inilah fase di mana saya “kembali berjumpa” dengan
Islam –setelah dalam waktu yang cukup lama saya mencampakkannya ketika asik dengan
khazanah filsafat sekuler dan ateisme.
Sebab, haruslah saya akui, ketika saya asik dalam
khazanah materialisme, ateisme, dan sekulerisme itulah saya mulai berani
meragukan agama, dan bahkan mulai berani meninggalkan ritual Islam saya.
Sementara itu, khazanah kesusastraan saya kenal lewat jurnal dan majalah
berkala, semisal majalah sastra Horison dan jurnal Kalam –yang selebihnya dari
lembar-lembar koran –alias harian, di setiap hari Minggu, karena kebetulan
tempat kajian di mana kemudian saya tinggal, berlangganan semua terbitan itu.
Bersamaan dengan itu semua, saya mulai terbuka dengan
khazanah Islam yang lain, semisal Islam mazhab Syi’ah –yah lewat pembacaan
tekstual, lewat buku dan tulisan. Dengan sendirinya saya mulai memandang tinggi
tradisi menulis, tak lain karena saya berjumpa dengan khazanah yang sebelumnya
saya tidak ketahui tersebut dapat saya kenali, saya akrabi, saya kaji,
singkatnya: saya baca, tak lain lewat buku dan tulisan.
Akhirnya, dapatlah dikatakan bahwa perjumpaan saya
dengan kesusastraan dan perjumpaan kembali saya dengan Islam, tak lepas dari
pembacaan, “tradisi yang lain”, pergulatan serta pencarian intelektual itu
sendiri –yang memang tidak terlepas dari buku-buku, tulisan, singkatnya dengan
“teks”, setelah sebelumnya saya juga menjumpainya, yang dalam hal ini sisi
keagamaan saya, dalam “tradisi”, dalam sebuah dunia yang tidak terlepas dari
“situasi epistemiknya” serta wawasan dan khazanahnya. Dalam hal ini,
“pembacaan” dan “penulisan” merupakan sebuah ikhtiar dalam rangka “menghidupkan”
sekaligus merawat, dan tentu juga dalam rangka menghindari “kemalasan
intelektual” sejauh menyangkut keduanya.
Sulaiman Djaya