Oleh Dr. Muhammad Tijani as Samawi (ulama dan penulis Tunisia)
Banyak sebab yang
mendorongku untuk ikut mazhab Ahlu Bait (Syi’ah). Dan tidak mungkin bagiku
menyebutnya secara rinci di sini kecuali sebagiannya saja.
[1] Nas Khilafah
Aku telah berjanji pada diriku
ketika memasuki pembahasan ini untuk tidak berpegang pada sebarang dalil
melainkan ia benar-benar dianggap shahih oleh kedua mazhab, dan membiarkan
setiap dalil yang hanya diriwayatkan oleh satu mazhab saja. Lalu aku mulai
menelaah tentang pemilihan (khilafah) antara Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib,
dan khilafah (kekhalifahan) pada dasarnya apakah hak Ali bila dilihat dari sisi
nash seperti yang diklaim oleh mazhab Syi’ah, atau ditentukan oleh syura
seperti yang dikatakan oleh mazhab Sunni. Apabila mereka yang menelaah subjek
ini benar-benar tulus untuk mencari sebuah kebenaran, maka mereka akan dapati
bahwa nash yang mengatakan Ali sebagai khalifah adalah nash yang tak
terbantahkan. Seperti sabda Nabi saw: “Siapa yang menganggap aku sebagai maulanya
(pemimpinnya) maka inilah Ali sebagai maulanya”. Hadis ini beliau ucapkan
sekembalinya beliau dari hajinya yang terakhir yang dikenal dengan haji wada’.
Usai pengangkatan, berduyun-duyun orang datang mengucapkan selamat kepada Ali,
termasuk Abu Bakar dan Umar sendiri. Mereka berkata: “Selamat untukmu wahai
Putera Abu Thalib. Kini kau adalah maulaku dan maula setiap orang mukmin,
laki-laki dan perempuan”.[1]
Hadis ini telah disepakati
keabsahannya oleh Sunni dan Syi’ah. Referensi yang kusebutkan dalam telaahku
ini adalah referensi yang berasal dari Ahlu Sunnah saja. Itupun bukan semua.
Karena yang semestinya adalah jauh lebih banyak dari apa yang kusebutkan. Untuk
memperoleh dalil-dalil yang lebih rinci aku mengajak para pembaca untuk
menelaah kitab al Ghadir karya al Allamah al Amini. Buku ini setebal tiga belas
jilid. Dan penulisnya telah mendaftarkan nama para perawi hadis ini dari
golongan Ahlu Sunnah yang cukup banyak. Adapun ijma’ yang dinyatakan sebagai
dasar dipilihnya Abu Bakar di Saqifah Bani Sa’idah, lalu kemudian ia dibaiat di
masjid adalah pernyataan yang tidak kokoh. Bagaimana hal itu bisa dikatakan
sebagai ijma’ sementara sejumlah pemuka sahabat seperti Ali, Abbas dan anggota
Bani Hashim yang lain tidak ikut serta membaiatnya. Begitu juga Usamah bin
Zaid, Zubair, Salman al Farisi, Abu Dzar al Ghifari, Miqdad bin al Aswad, Ammar
bin Yasir, Hudzaifah bin Yaman, Khuzaimah bin Thabit, Abu Buraidah al Aslami,
Barro’ bin Azib, Ubay bin Ka’ab, Sahal bin Hunaif, Sa’ad bin Ubadah, Qais bin
Sa’ad, Abu Ayub al Anshori, Jabir bin Abdullah, Khalid bin Sa’ ad dan lain
sebagainya.[2]
Di mana ijma’ yang
dikatakan itu wahai hamba-hamba Allah? Seandainya hanya Ali saja yang tidak
membaiat, maka itu sudah cukup sebagai bukti tercelanya ijma’ seumpama itu. Hal
ini karena beliau adalah satu-satunya calon Khalifah yang ditunjuk oleh Rasul
saw, apabila kita katakan bahwa nash tersebut tidak menunjuknya sebagai
khalifah secara eksplisit. Sebenarnya bai’ at pada Abu Bakar terjadi tanpa
syuro atau musyawarah. Bai’at itu diambil ketika orang-orang sekitarnya,
terutama ahlul halli wal ‘aqdi, sedang bingung dan sibuk dalam mengurus jenazah
Nabi saw. Saat itu penduduk kota Madinah sedang berkabung atas wafatnya Nabi
mereka. Kemudian tiba-tiba dipaksa untuk mem bai’ at sang khalifah.[3] Hal ini dapat kita rasakan dari cara mereka
mengancam untuk membakar rumah Fatimah apabila penghuni yang berada di dalamnya
enggan memberikan baiat. Nah, bagaimana dapat kita katakan bahwa pemilihan sang
khalifah tersebut terjadi secara musyawarah dan ijma’? Umar sendiri pernah
berkata bahwa bai’at yang diambil waktu itu adalah tergesa-gesa, dan Allah
telah memelihara kaum muslimin dari kejahatannya. Beliau juga berkata bahwa
siapa saja yang mengulangi cara bai’at seperti itu, ia mesti dibunuh, atau paling
tidak bai’atnya tidak sah dan tidak diakui.[4]
Imam Ali pernah berkata
tentang haknya ini, yang antara lain: “Demi Allah, Ibnu Abi Qahafah (Abu Bakar)
telah memakainya (hak khilafahku) sedangkan beliau tahu bahwa kedudukanku
dengan khilafah ini bagaikan kedudukan kincir dengan roda”[5] (Nahjul Balaghah). Sa’ad bin Ubadah pemuka
kaum Anshar yang menyerang Abu Bakar dan Umar di hari Saqifah dan berusaha
mati-matian untuk mencegah mereka dari jabatan khilafah, namun tak mampu karena
sakit dan tak dapat berdiri, pernah berkata setelah kaum Anshar membaia’t Abu
Bakar: “Demi Allah, sekali-kali Aku tidak akan membai’at kalian sampailah
kulemparkan anak-anak panahku dan kulumurkan tombakku serta kupukulkan pedangku
dan kuperangi kalian bersama-sama keluarga dan kaumku. Demi Allah, seandainya
manusia dan jin berkumpul untuk membai’at kalian niscaya aku tetap tidak akan
memberikannya, sampai aku berjumpa dengan Tuhanku.” Sa’ad bin Ubadah tidak
shalat sama-sama mereka dan tidak ikut serta kumpul bersama mereka bahkan tidak
mau haji bersama-sama mereka. Seandainya ada sekelompok orang yang mau memerangi
mereka niscaya ia akan membantunya. Dan seandainya ada orang yang membaiatnya
untuk memerangi mereka niscaya ia akan perangi. Begitulah sikap Sa’ad terhadap
Abu Bakar sampai beliau wafat di Syam pada periode pemerintahan Umar.[6]
Apabila bai’at tersebut
dilakukan secara tergesa-gesa di mana Allah telah memelihara kaum muslimin dari
keburukannya, seperti yang disinyalir oleh Umar sendiri, arsitektur rencana ini
dan tahu akibat yang akan diderita oleh kaum muslimin karenanya. Dan apabila
khilafah ini merupakan “pakaian” Abu Bakar saja, (seperti yang diibaratkan oleh
Imam Ali karena dia bukan empunya yang sah). Dan apabila bai’at ini diambil
secara zalim seperti vang dikatakan oleh Sa’ad bin Ubadah, pemuka Anshor yang
memisahkan diri dari jamaah karenanya. Dan apabila bai’at ini tidak sah secara
syari’at mengingat sahabat-sahabat yang besar seperti Abbas paman Nabi tidak
memberi-nya, lalu apa dasar dan alasan keabsahan khilafah Abu Bakar? Jawabnya:
tidak ada alasan dari kalangan Ahlu SunnahWal Jamaah. Dengan demikian maka
benarlah alasan dan hujjah Syi’ah dalam hal ini, karena nash tentang
kehalifahan Ali nyata ada dalam Ahlu Sunnah sendiri, namun mereka telah
menakwilkannya karena ingin memelihara “kemuliaan” sahabat. Tetapi bagi orang
yang insaf dan adil, dia tidak akan memperoleh sebarang alasan kecuali harus
menerima kenyataan nash ini. Terutama apabila ia ketahui rangkaian peristiwa
yang menyelubungi sejarah ini.[7]
[2] Perselisihan Antara Fatimah dan Abu Bakar
Masalah ini juga telah
disepakati kebenarannya oleh dua mazhab, Sunni dan Syi’ah. Orang yang insaf dan
berakal tidak akan dapat lari kecuali harus mengatakan bahwa Abu Bakar berada
pada posisi yang keliru dalam perselisihannya dengan Fatimah, meskipun ia tidak
menolak fakta bahwa Abu Bakar pernah rnenzalirni Perempuan Penghulu Alam
semesta ini. Mereka yang menelaah sejarah ini dan mengetahui seluk-beluknya
secara rinci akan tahu pasti bahwa Abu Bakar pernah mengganggu Fatimah Zahra’
dan mendustakannya secara sengaja, agar Fatimah tidak mempunyai alasan untuk
berhujjah dengan nash-nash al Ghadir dan lainnya akan keabsahan hak khilafah suaminya
dan putra-pamannya, yakni Ali bih Abi Thalib. Kami telah temukan bukti-bukti
yang cukup kuat dalam hal ini. Di antaranya adalah, seperti dikatakan oleh ahli
sejarah bahwa Fatimah Zahra’, (semoga Allah melimpahkan padanya kesejahteraan)
pernah keluar mendatangi tempat-tempat pertemuan kaum Anshar dan minta mereka
membantu dan membai’at Ali. Mereka menjawab: ”Wahai putri Rasulullah, kami
telah berikan bai’at kami pada orang ini (Abu Bakar). Seandainya suamimu dan
putra pamanmu mendahului Abu Bakar niscaya kami tidak akan berpaling darinya.”
Ali berkata: “apakah aku harus tinggalkan Nabi di rumahnya dan tidak kuutus
jenazahnya, lalu keluar berdebat tentang kepemimpinan ini?” Fatimah menyahut,
“Abul Hasan (Ali) telah melakukan apa yang sepatutnya beliau lakukan, sementara
mereka telah melakukan sesuatu yang hanya Allah sajalah akan menjadi Penghisab
dan Penuntutnya.”[8]
Seandainya Abu Bakar
memang berniat baik dan keliru maka kata-kata Fatimah telah cukup untuk
menyadarkannya. Tetapi Fatimah masih tetap marah padanya dan tidak berbicara
dengannya sampai beliau wafat. Karena Abu Bakar telah menolak setiap tuntutan
Fatimah dan tidak menerima kesaksiaannya, bahkan kesaksian suaminya sekalipun.
Semua ini telah menyebabkan Fatimah murka pada Abu Bakar sampai beliau tidak
mengizinkannya hadir dalam pemakaman jenazahnya, seperti yang dia wasiatkan
pada suaminya Ali. Fatimah juga berwasiat agar jasadnya dikuburkan secara
rahasia di malam hari tanpa boleh diketahui oleh mereka yang menentangnya.[9] Untuk pembuktian ini saya sendiri telah
berangkat ke Madinah untuk memastikan kebenaran fakta sejarah ini. Di sana
kudapati bahwa pusaranya memang masih tidak diketahui oleh siapa pun. Sebagian
berkata ada di Kamar Nabi, dan sebagian lain berkata ada di rumahnya yang
berhadapan dengan Kamar Nabi. Ada juga yang berpendapat bahwa pusaranya
terletak di Baqi’, di tengah-tengah pusara keluarga Nabi yang lain. Tapi tiada
satupun pendapat yang berani memastikan dimana letaknya.
Alhasil, aku berkesimpulan
bahwa Fatimah Zahra’ sebenarnya ingin melaporkan kepada generasi muslimin
berikutnya tentang tragedi yang disaksikannya pada zamannya, agar mereka
bertanya-tanya kenapa Fatimah sampai memohon pada suaminya agar dikebumikan di
malam hari secara sembunyi dan tidak dihadiri oleh siapa pun. Hal ini juga
memungkinkan seorang muslim untuk sampai pada sebuah kebenaran lewat
telaah-telaahnva yang intensif dalam bidang sejarah. Aku juga mendapati bahwa
penziarah yang ingin berziarah ke kuburan Utsman bin Affan terpaksa harus
menempuh jalan yang cukup jauh agar bisa sampai ke sudut akhir dari wilayah
tanah pekuburan Jannatul Baqi’. Di sana dia juga akan dapati bahwa kuburan
Utsman berada persis di bawah sebuah dinding, semantara kebanyakan sahabat lain
dikuburkan di tempat yang berhampiran dengan pintu masuk Baqi’. Hatta Malik bin
Anas, imam mazhab Maliki, seorang Tabi’it-Tabi’in (generasi keempat setelah
Nabi) juga dikuburkan dekat dengan istri-istri Nabi.
Hal ini bagiku bertambah
jelas apa yang dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Utsman dikuburkan di Hasy
Kaukab, sebidang tanah milik seorang Yahudi. Pada mulanya kaum muslimin melarang
jasad Utsman dikebumikan di Baqi’. Ketika Mua’wiyah menjabat sebagai khalifah
dia beli tanah milik si Yahudi, kemudian memasukkannya sebagai bagian dari
wilayah Baqi’, agar kuburan Utsman juga termasuk di dalamnya. Mereka yang
ziarah ke Baqi’ pasti akan dapat melihat hakekat ini dengan jelas sekali. Aku
semakin heran ketika kuketahui bahwa Fatimah Zahra’ as adalah orang pertama
yang menyusul kepergian avahnva. Antara wafat Rasul dengan wafat Fatimah hanya
dipisahkan selang waktu enam bulan saja. Demikian pendapat sebagian ahli
sejarah. Tapi -anehnya-beliau tidak dikuburkan di sisi ayahnya! Apabila Fatimah
Zahra’ berwasiat agar dikebumikan secara rahasia, dan beliau tidak dikuburkan
dekat dengan pusara ayahnya seperti yang disebutkan di atas, lalu apa pula
gerangan yang terjadi dengan jenazah putranya Hasan yang tidak dikuburkan dekat
dengan pusara datuknya Muhammad saw? Aisyah melarang jasad Hasan dikebumikan di
sana. Ketika Husain datang untuk mengebumikan saudaranya Hasan di sisi pusara
datuknya, Aisyah datang dengan menunggangi baghalnya sambil berteriak, “jangan
kuburkan di rumahku orang yang tidak kusukai.” Bani Umayah dan Bani Hasyim
saling berhadapan nyaris perang. Tetapi Imam Husain kemudian berkata bahwa dia
hanya membawa jenazah saudaranya untuk “tabarruk” pada pusara datuknya,
kemudian dikuburkan di Baqi’. Imam Hasan pernah berpesan agar jangan tertumpah
setetes pun darah karenanya. Dalam kontek ini Ibnu Abbas mendendangkan syairnya
kepada Aisyah:
Kau tunggangi onta[10]
Kau tunggangi baghal[11]
Kalau kau terus hidup
kau akan tunggangi gajah
Sahammu kesembilan dari seperdelapan
tapi telah kau ambil semuanya
Ini adalah contoh dari
rangkaian fakta yang sungguh mengherankan. Bagaimana Aisyah mewarisi semua
rumah Nabi sementara istri-istri beliau berjumlah sembilan, seperti yang
diungkapkan oleh Ibnu Abbas di atas. Apabila Nabi tidak meninggalkan harta
waris seperti yang disaksikan oleh Abu Bakar, karenanya dia melarangnya dari
Fatimah, Lalu bagaimana Aisyah dapat mewarisi pusaka Nabi? Apakah ada dalam al
Qur’an suatu ayat yang memberikan hak waris pada istri tapi melarangnya anak
perempuan? Ataukah politik yang telah merobah segala sesuatu sehingga anak
perempuan diharamkan dari menerima segala sesuatu dan si istri diberi segala
sesuatu? Saya akan membawakan suatu kisah yang diceritakan oleh sebagian ahli
sejarah. Cerita ini ada kaitannya dengan hak-pusaka ini.
Ibnu Abil-Hadid
al-Mu’tazili dalam bukunya Syarhu Nahjul Balaghah pernah berkata: ”Suatu hari
Aisyah dan Hafshah datang kepada Utsman pada periode pemerintahannya. Mereka
minta agar pusaka Nabi tersebut diberikan kepada mereka. Sambil membetulkan
cara duduknya, Utsman berkata kepada Aisyah: ”Engkau bersama orang yang duduk
ini pernah datang membawa seorang badui yang masih bersuci dengan air
kencingnya menyaksikan Nabi saw bersabda: “Kami para Nabi tidak meninggalkan
harta pusaka. Jika memang benar bahwa Nabi tidak meninggalkan sebarang warisan,
lalu apa yang kalian minta ini? Dan jika memang Nabi meninggalkan warisan
pusaka, kenapa kalian larang haknya Fatimah? Lalu Aisyah keluar dari rumahnya
Utsman sambil marah-marah dan berkata: “bunuh si na’thal. Sungguh, dia telah
kufur.”[12]
[3] Ali Lebih Utama Untuk Diikuti
Di antara sebab yang
mendorongku untuk ikut mazhab Syi’ah dan meninggalkan tradisi para leluhur
adalah pertimbangan akal dan naqal (aqliyah dan naqliyah) antara Ali bin Abi
Thalib dan Abu Bakar. Seperti yang kusebutkan pada halaman-halaman yang lalu
bahwa aku sepenuhnya berpegang pada ijma’ yang disepakati oleh Ahlu Sunnahdan
Syi’ah. Aku juga telah menelaah berbagai kitab dari dua mazhab ini. Di sana
tidak kuternui sebuah ijma’ atau kesepakatan pendapat yang sempurna melainkan
berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Sunnah dan Syi’ah telah sepakat tentang
keimamahannya sebagaimana yang dicatatkan dalam nash-nash berbagai kitab
rujukan dua mazhab itu. Sementara tentang keimamahan Abu Bakar hanya dikatakan
oleh sekelompok tertentu kaum muslimin saja. Di atas telah kami sebutkan ucapan
Umar tentang pembai’atan terhadap Abu Bakar. Demikian juga tentang keutamaan
dan keistimewaan Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Syi’ah di
kitab-kitab mereka. Semua bersandar pada sanad dan otentisitas yang tak dapat
digugat, termasuk oleh kitab-kitab Sunnah. Sebagaimana ia juga diriwayatkan
melalui berbagai jalur yang tak dapat diragukan. Banyak sahabat telah
meriwayatkan hadis berkenaan dengan keutamaan Ali ini, sehingga Ahmad bin
Hanbal mengatakan: “Tidak satupun dari sahabat Nabi yang memiliki keutamaan
sebagaimana Ali bin Abi Thalib.”[13] Al Qodhi Ismail dan an Nasai serta Abu Ali
an Naisaburi berkata: “Tidak satupun hadis-hadis keutamaan sahabat yang
diriwayatkan dengan isnad-isnad yang hasan sebagaimana hadis tentang keutamaan
Ali”[14]
Meskipun Bani Umayah telah
memaksa setiap orang yang berada di Barat dan di Timur untuk mencaci, mengutuk,
serta tidak menyebut-nyebut tentang keutamaan Ali, bahkan melarang siapa pun
untuk menggunakan namanya, bagaimanapun keutamaan-keutamaannya tetap memancar
dan menguak ke permukaan. Imam Syafi’i berkata berkenaan dengan ini: “Aku
sungguh takjub akan seseorang yang karena dengki. musuh-musuhnya telah
menyembunyikan keutamaannya, dan karena takut, para pecintanya tidak berani
menyebut-nyebut namanya. Namun tetap saja keutamaannya tersebar dan memenuhi
lembaran-lembaran buku.” Berkenaan dengan Abu Bakar juga telah kutelaah dengan
kritis dan teliti dari berbagai kitab dua mazhab ini. Namun kitab-kitab Sunni
yang menyebut tentang keutarnaannya juga tidak dapat menyaingi
keutamaan-keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib. Itupun diriwayatkan oleh putrinya
Aisyah yang kita kenal bagaimana sikapnya terhadap Imam Ali, dimana beliau
berusaha keras untuk menonjolkan ayahnya walau dengan menciptakan hadis-hadis
sekalipun, atau diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, seorang yang terbilang
jauh dengan Imam Ali. Abdullah bin Umar pernah menolak memberikan bai’at pada
Imam Ali setelah semua kaum muslimin sepakat untuk mengangkatnya sebagai Imam.
Dia pernah berkata bahwa orang yang paling utama setelah Nabi adalah Abu Bakar
kemudian Umar dan kemudian Utsman, lalu tiada seorang pun yang lebih utama dari
yang lainnya, semua adalah sama.”[15] Yakni Abdullah bin Umar ingin mengatakan
bahwa Imam Ali adalah manusia awam biasa yang tidak memiliki sebatang
keutamaan. Aneh memang. Bagaimana Abdullah bin Umar dapat menyembunyikan
dirinya dari fakta-fakta yang telah dinyatakan oleh para pemuka ummat bahwa
tiada suatu hadispun berkenaan dengan sahabat yang diriwayatkan secara isnad
yang hasan sebagaimana hadis tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib! Apakah
Abdullah bin Umar tidak pernah mendengar satu keutamaan pun tentang diri Ali
bin Abi Thalib? Demi Allah beliau pernah mendengarnya. Tetapi politik, ya
politik, yang telah memutar-belit segala kebenaran dan menciptakan berbagai
keanehan.
Mereka yang meriwayatkan
tentang keutamaan Abu Bakar antara lain adalah Amr bin A’sh, Abu Hurairah,
Urwah dan Akramah. Sejarah menyingkapkan bahwa mereka adalah lawan-lawan Ali
dan memeranginya. Baik dengan senjata atau menciptakan berbagai keutamaan untuk
musuh-musuh dan lawan-lawannya. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Ali banyak
mempunyai musuh. Mereka berupaya untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa
mencelanya, namun mereka tidak menemukannya. Kemudian mereka cari seseorang
yang pernah memeranginya lalu diciptakanlah keutamaan-keutamaannya.”[16] Tapi Allah berfirman: “Sebenarnya mereka
merencanakan tipu-daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan Akupun membuat
rencana (pula) dengan sebenar-benarnya. Karena itu beri tangguhlah orang-orang
kafir itu yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar” (86: 15, 16, 17).
Sungguh merupakan mukjizat Allah bahwa keutamaan-keutamaan Ali dapat terungkap
atau mencuat keluar setelah enam abad serangkaian pemerintahan yang zalim
menganiaya dirinya dan kaum kerabatnya. Dinasti Bani Abbas tidak kurang dari
Bani Umayah dalam membenci, mendengki dan memperdaya kaum kerabat Nabi saw.
Sehingga Abu Faras al-Hamdani berkata:
Apa yang dilakukan oleh putra-putra
Banu Harb terhadap mereka
Walau sunguh dahsyat
Tapi tidaklah sedahsyat kezaliman yang kalian lakukan
Berapa banyak pelanggaran terhadap
agama yang kalian lakukan
Dan berapa banyak darah keluarga
Rasulullah yang kalian tumpahkan
Kalian mengaku sebagai pengikutnya
sementara tangan kalian penuh
berlumuran darah anak-anaknya yang suci.
Setelah ucapan-ucapan itu
semua dan setelah kekaburan menjadi terang maka biarlah Allah yang menjadi
Hujjah Yang Unggul, dan manusia tidak lagi mempunyai alasan dihadapanNya.
Walaupun Abu Bakar adalah khalifah pertama dan mempunyai kekuasaan seperti yang
kita ketahui, walaupun pemerintahan Umawiyah menyogokkan segala bonus dan upah
kepada setiap orang yang meriwayatkan keutamaan Abu Bakar, Umar dan Utsman, walaupun
riwayat-riwayat keutamaan Abu Bakar diciptakan begitu banyak dan memenuhi
lembaran-lembaran buku, walaupun itu semua dilakukan namun ia tetap tak dapat
menyamai bahkan sepersepuluh dari keutamaan Ali. Bahkan jika Anda teliti
hadis-hadis yang diriwayatkan tentang keutamaan Abu Bakar maka Anda akan dapati
bahwa ia tidak sejalan dengan apa yang dicatat oleh sejarah tentang berbagai
tindakannya. Bukan saja ia bertentangan dengan apa yang dikatakan dalam “hadis”
itu bahkan juga bertentangan dengan akal dan syara’. Dan ini telah kami
jelaskan ketika membicarakan hadis yang bermaksud:
“Seandainya iman Abu Bakar
ditimbang dengan imannya ummatku maka iman Abu Bakar akan lebih berat”. Seandainya
Rasulullah saw tahu bahwa iman Abu Bakar sedemikian hebatnya maka beliau tidak
akan meletakkannya di bawah pimpinan komandan pasukan seperti Usamah bin Zaid;
dan beliau juga tidak akan enggan untuk memberikan kesaksian padanya
sebagaimana yang pernah beliau berikan kepada para syuhada di Uhud. Nabi pernah
berkata kepadanya: “Sungguh aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan
sepeninggalku kelak”, sampai Abu Bakar Bakar menangis.[17] Nabi juga tidak akan mengutus Ali bin Abi
Thalib untuk mengambil surah Baraah yang telah diberikannya kepada Abu Bakar
dan melarangnya membacakannya.?[18] Beliau juga tidak akan berkata pada hari
pemberian panji dalam peperangan Khaibar: “Akan kuberikan panjiku ini esok
kepada seseorang yang mencintai Allah dan RasulNya dan dicintai oleh Allah dan
RasulNya. Dia senantiasa akan maju dan tidak pernah akan berundur sedikitpun.
Sungguh Allah telah menguji hatinya dengan iman. “Kemudian Nabi memberikannya
pada Ali dan tidak memberikannya kepada Abu Bakar.”[19]
Seandainya Allah tahu
bahwa iman Abu Bakar sedemikian tingginya hingga melebihi iman seluruh ummat
Muhammad saw maka Allah tidak akan pernah mengancamnya untuk menggugurkan
amal-amalnya ketika beliau mengangkat suaranya lebih dari suara Nabi.[20] Seandainya Ali dan sahabat-sahabatnya tahu
bahwa Abu Bakar memiliki keimanan yang demikian tinggi maka mereka tidak ada
alasan untuk menolak memberikan bai’at kepadanya. Seandainya Fatimah Zahra’,
penghulu seluruh wanita, mengetahui ketinggian derajat imannya Abu Bakar maka
dia tidak akan pernah marah kepadanya dan tidak akan enggan berbicara
dengannya, menjawab salamnya, berdo’a untuk kecelakaannya pada akhir setiap
sholatnya,[21] atau tidak mengizinkannya
(seperti yang diwasiatkannya) hadir dalam pemakaman jenazahnya. Seandainya Abu
Bakar sendiri tahu tentang ketinggian imannya maka beliau tidak akan mendobrak
rumah Fatimah Zahra’ walau mereka telah menutupnya sebagai tanda protes. Abu
Bakar juga tidak akan membakar al Fujaah al Salami dan akan menyerahkan kepada
Umar atau Abu Ubaidah perkara khalifah pada hari Saqifah itu.[22] Seorang yang mempunyai derajat iman
sedemikian tinggi dan lebih berat dari iman seluruh ummat yang ada tentu tidak
akan pernah menyesal di akhir-akhir hayatnya atas sikapnya terhadap Fatimah.
Tindakannya yang membakar al Fujaah al Salami serta kekhalifahan yang
dipegangnya. Sebagaimana dia juga tidak akan pernah berangan-angan untuk tidak
menjadi manusia, dan sekadar menjadi sehelai rambut atau kotoran hewan. Apakah
iman orang seperti ini setaraf dengan iman seluruh ummat Islam, bahkan lebih
berat?
Jika kita teliti hadis
yang bermaksud: “Seandainya aku harus mengambil seorang sahabat (khalil) maka
akan kuambil Abu Bakar sebagai khalilku”, hadis ini serupa dengan hadis
sebelumnya. Di mana Abu Bakar pada hari persaudaraan-terbatas (Muakhoh sughro)
di Mekah sebelum Hijrah, dan pada hari persaudaraan besar (Muakhoh kubro) di
Madinah setelah Hijrah. Dalam dua peristiwa ini, Nabi hanya menjadikan Ali
sebagai saudaranya, sampai beliau berkata: “Engkau adalah saudaraku di Dunia
dan di Akhirat.”[23] Nabi tidak menoleh kepada Abu Bakar dan
enggan mengikat tali persaudaraan dengannya, baik untuk dunia ataupun akhirat.
Saya tidak bermaksud untuk menjelaskan permasalahan ini dengan lebih panjang.
Saya cukupkan dengan dua contoh di atas yang saya kutip dari sejumlah referensi
Ahlu Sunnah sendiri. Adapun mazhab Syi’ah memang mereka telah menolak kesahihan
hadis ini. Mereka mengatakan dengan alasan yang sangat kuat bahwa ia diciptakan
tidak lama setelah wafatnya Abu Bakar.
Jika kita tinggalkan
sifat-sifat utama Ali dan meneliti kemungkinan dosa yang pernah dilakukannya,
maka kini tidak akan menemukan satu dosa pun yang pernah dilakukan oleh Ali bin
Abi Thalib yang pernah tercatat dalam buku dua mazhab ini. Sementara itu kita
temukan dari orang-orang selainnya perbuatan-perbuatan dosa yang tidak sedikit.
Hal ini bisa kita temukan dari berbagai buku Ahlu Sunnah, seperti buku-buku
hadis, buku sirah dan dan sejarah. Hal ini berarti bahwa ijma’ dua mazhab
adalah hanya Ali sajalah yang tidak terbukti melakukan sebarang dosa,
sebagaimana sejarah juga menegaskan bahwa bai’at yang pernah diberikan secara
benar hanya bai’at yang diberikan kepada Ali semata-mata. Beliau enggan
menerima jabatan Khalifah, namun dipaksa oleh Muhajirin dan Anshor. Beliau juga
tidak memaksa orang yang enggan memberikan bai’at padanya. Sementara bai’at Abu
Bakar dilakukan sangat tergesa-gesa dimana Allah telah memelihara kaum muslimin
dari keburukannya, seperti yang diistilahkan oleh Umar. Kekuasaan Umar
diperoleh berdasarkan penobatan yang diberikan oleh Abu Bakar kepadanya,
sementara pengangkatan Utsman sebagai khalifah terjadi semacam secara komedi.
Lihatlah, Umar menominasi enam orang sebagai calon khalifah dan mewajibkan
mereka rnemrlih satu di antaranya. Beliau berkata, “apabila empat orang sepakat
dan dua orang yang lain menentang maka bunuh yang dua. Apabila enam orang ini
berpecah tiga tiga dan membentuk dua kelompok, maka pilihlah pendapat kelompok
yang di dalamnya ada Abdurrahman bin A’uf Apabila waktu telah berakhir
sementara mereka belum sepakat menemukan sang “khalifah” maka bunuh saja mereka
semua.”
Ceritanya panjang dan aneh
sekali. Alhasil, Abdurrahman bin A’uf , mula-mula, memilih Ali dengan syarat
beliau memerintah berdasarkan pada Kitab Allah, Sunnah Nabi dan Sunnah
Syaikhain, yakni Sunnah Abu Bakar dan Umar. Ali menolak syarat ini dan Utsman
menerimanya. Maka jadilah Utsman sebagai khalifah. Ali keluar dari majlis itu,
dan beliau telah tahu hasil yang akan keluar. Hal ini pernah diucapkannya dalam
khutbahnya yang terkenal dengan nama Khutbah as Syiqsyiqiyah. Setelah Ali,
Muawiyah yang ‘memegang’ jabatan khalifah. Di tangannya khalifah telah
digantikan dengan dinasti kekaisaran yang berpindah-tangan dari generasi ke
generasi Bani Umayah. Kemudian berpindah pula ke tangan Bani Abbas. Khalifah
berikutnya hanya dipilih dengan ketentuan sang khalifah atau dengan kekuatan
pedang atau penggulingan. Sistem bai’at yang paling benar yang pernah terjadi
dalam sejarah lslam, sejak zaman para khulafa’ hingga ke zaman Kemal Ataturk
yang telah menghapus sistem kekhalifahan, hanya bai’ah yang pernah diberikan
kepada Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib saja.
Hadis-Hadis Berkenaan dengan Ali Menyirat Arti Wajib
Ikut
Di antara hadis-hadis yang
mengikatku dan mendorongku untuk ikut Imam Ali adalah hadis yang diriwayatkan
oleh berbagai Kitab Sahih Ahlu Sunnah yang telah dijelaskan kesahehannya,
sementara di dalam mazhab Syi’ah sendiri mereka memiliki hadis-hadis serupa itu
berlipat-ganda. Namun saya, seperti biasa, tidak akan berhujjah dan berpegang
kecuali kepada hadis-hadis yang telah disepakati oleh kedua mazhab. Di antara
hadis-hadis tersebut adalah:
[1] Hadis yang berbunyi: “Aku kota ilmu dan Ali gerbangnya.”[24]
Hadis ini saja sebenarnya
sudah cukup untuk menentukan teladan yang mesti diikuti setelah Nabi saw.
Mengingat orang yang berilmu adalah lebih utama untuk diikuti dibandingkan
dengan orang yang jahil. Allah berfirman: “Katakanlah apakah sama antara orang
yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.” Dan firman-Nya: “Apakah
seseorang yang menunjukkanrnu kepada kebenaran lebih utama untuk diikuti
ataukah orang yang tidak membimbingmu kecuali ia perlu dibimbing. Maka
bagaimana kalian membuat keputusan?“ Jelas bahwa orang alimlah yang tahu
membimbing sementara orang jahil perlu mendapatkan bimbingan, bahkan ia perlu
bimbingan lebih dari orang lain. Dalam hal ini sejarah telah mencatatkan kepada
kita bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling alim tanpa sedikitpun bantahan.
Dahulunya mereka merujuk kepada Ali di dalam perkara-perkara yang pokok. Dan
kita tidak pernah tahu yang Ali pernah merujuk kepada mereka walau satu kali
sekalipun. Dengarlah apa yang dikatakan oleh Abu Bakar: “Semoga Allah tidak
menetapkanku di suatu tempat yang ada masalah kalau Abul Hasan (Ali) tidak
hadir di sana.” Umar berkata: “Kalaulah Ali tiada, maka celakalah Umar”[25] Ibnu Abbas berkata: “Apalah ilmuku dan ilmu
sahabat-sahabat Muhammad dibandingkan dengan ilmu Ali. Perbandingannya bagaikan
setetes air dengan tujuh samudera.” Imam Ali sendiri berkata: “Tanyalah aku
sebelum kalian kehilanganku. Demi Allah, tiada persoalan yang kalian hadapkan
padaku sampai hari kiamat kecuali aku beritahu kalian apa jawabannya. Tanyakan
kepadaku tentang Kitab Allah. Demi Allah, tiada suatu ayatpun kecuali aku tahu
dimana ia diturunkan, di waktu malam atau siang, di tempat yang datar atau di
pegunungan.”[26]
Sedangkan Abu Bakar ketika
ditanya makna Abban dari firman Allah: wa fakihatan wa abban , beliau berkata:
“Langit mana yang dapat melindungiku, bumi mana yang dapat kujadikan tempat
berpijak daripada berkata sesuatu di dalam Kitab Allah apa yang tidak
kuketahui.” Umar bin Khattab pernah berkata: “Semua orang lebih faqih dari Umar,
hingga wanita-wanita.” Ketika beliau ditanya tentang suatu ayat dalam Kitab
Allah, beliau marah sekali pada orang yang bertanya itu, lalu memukulnya dengan
cambuk sampai melukainva. Katanya:” Jangan kalian tanya tentang sesuatu yang
jika nampak kepada kalian, maka kalian akan terasa tidak enak.[27] Sebenarnya beliau ditanya tentang makna
Kalalah, tapi tak tahu menjawabnya. Di dalam tafsirnya, Thabari meriwayatkan
dari Umar yang berkata: “Seandainya aku tahu apa makna Kalalah maka itu lebih
kusukai daripada memiliki seperti istana-istana di Syam.” Ibnu Majah dalam
Sunannya meriwayatkan dari Umar bin Khattab yang berkata: “Tiga hal yang
apabila Rasulullah saw telah menjelaskannya maka itu lebih kusukai daripada
dunia dan seisinya: alKalalah, ar-Riba dan al Khilafah.” Subhanallah! Mustahil
Rasulullah diam dan tidak menjelaskan perkara-perkara itu.
[2] Hadis yang berbunyi: “Hai Ali, kedudukanmu di sisiku bagaikan kedudukan Harun
di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku.”
Hadis ini seperti yang
dipahami oleh orang-orang yang berakal menyirat makna keutamaan dan kekhasan
Amir al-Mukminin Ali di dalam menyandang kedudukan wazir, washi dan khalifah,
sebagaimana Harun yang menjadi wazir, washi dan khalifahnva Musa ketika beliau
berangkat menemui Tuhannya. Ia juga menyirat arti bahwa kedudukan Imam Ali
adalah umpama kedudukan Harun as. Kedua mereka memiliki kemiripan; melainkan
kenabian saja seperti yang dikecualikan oleh hadis itu sendiri. Ia juga berarti
bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling utama dan paling mulia setelah Nabi
saw itu sendiri.
[3] Hadis yang berbunyi: “Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka
Alilah pemimpinnya. Ya Allah, bantulah mereka yang mewila’nya, dan musuhilah
mereka yang memusuhinya. Jayakanlah mereka yang menjayakannya, dan hinakanlah
mereka yang menghinakannya, liputilah haq bersamanya di manapun dia berada.”
Hadis ini saja sudah cukup untuk menolak dugaan orang yang mengutamakan Abu
Bakar, Umar dan Utsman atas seseorang yang telah dilantik oleh Rasulullah saw
sebagai pemimpin kaum mukminin setelahnya. Mereka yang mentakwilkan kalimat
maula dalarn hadis ini dengan arti sebagai pecinta dan pembantu semata-mata
karena ingin memalingkan arti yang sebenarnya dengan alasan ingin memelihara
kemuliaan para sahabat. Karena ketika Nabi saw menyampaikan pesannya ini beliau
berkhutbah dalam keadaan matahari panas terik. Katanya: “Bukankah kalian
menyaksikan bahwa aku adalah lebih utama dari orang-orang mukminin atas diri
mereka sendiri?” Mereka menjawab: ya, wahai Rasulullah. Kemudian beliau
melanjutkan: “Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka
inilah Ali maulanya…”
Nash ini sangat jelas
dalam melantik Ali sebagai khalifah untuk ummatnya. Orang yang berakal, adil
dan insaf tak dapat menolak pengertian maksud hadis ini lalu menerima takwilan
yang direka oleh sebagian orang demi menjaga kemuliaan sahabat dengan
mengorbankan kemuliaan Rasul saw. Karena dengan demikian ia telah meremehkan
dan mencela kebijaksanaan Rasul yang telah menghimpun ribuan manusia dalam
keadaan cuaca yang sangat terik dan panas hanya semata-mata karena ingin
mengatakan bahwa Ali adalah pecinta kaum mukminin dan pembela mereka. Bagaimana
mereka akan menafsirkan ucapan selamat yang diberikan oleh barisan orang-orang
mukminin kepada Ali setelah pelantikan itu, yang sengaja diciptakan oleh Nabi
saw? Pertama-tama adalah para istri Nabi, kemudian Abu Bakar dan menyusul Umar
yang berkata: “Selamat, selamat untukmu wahai putra Abu Thalib. Kini kau adalah
pemimpin orang-orang mukrninin, laki-laki atau perempuan.” Fakta sejarah juga
telah menyaksikan bahwa mereka yang mentakwil adalah orang-orang yang berdusta.
Celakalah apa yang mereka tulis dengan tangan mereka. Firman Allah: “Dan
sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran padahal mereka
mengetahui” (al Baqarah: 146).
[4] Hadis: “Ali
dariku dan aku dari Ali. Tiada siapa yang mewakili tugasku kecuali aku sendiri
atau Ali”.[28] Hadis ini juga dengan jelas
menyatakan bahwa Imam Ali adalah satu-satunya orang yang diberikan kepercayaan
oleh Nabi untuk mewakili tugasnya. Nabi nyatakan ini ketika beliau mengutusnya
untuk mengambil dan membacakan surah Baraah yang pada mulanya diserahkan pada
Abu Bakar. Abu Bakar kembali dan menangis. Katanya, “Duhai Rasulullah, apakah
ada ayat turun berkenaan denganku?” Rasulullah menjawab: “Allah hanya
menyuruhku atau Ali saja yang melaksanakan tugas ini.” Hadis ini juga mendukung
sabda Nabi yang lain kepada Ali: “Engkau hai Ali, menjelaskan kepada ummatku
apa yang mereka perselisihkan setelah ketiadaanku.”[29] Jika tiada orang yang diberikan kepercayaan
oleh Rasulullah kecuali Ali, dan Alilah yang paling layak untuk menjelaskan
kepada ummat ini segala permasalahan yang dihadapi, maka kenapa orang yang
tidak tahu akan makna kalimat abba dan kalimat kalalah mengambil alih haknya?
Sungguh ini adalah musibah besar yang menimpa ummat ini, dan yang
menghalanginya dari menjalankan tugas penting yang telah ditetapkan oleh Allah
swt. Telah cukup hujjah dan alasan dari Allah, dari RasulNya dan dari Amir al
Mukminin. Mereka yang ingkar dan tidak patuh kelak harus mengajukan alasan di
hadapan Allah swt. Allah berfirman: “Apabila dikatakan kepada mereka: marilah
mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan mengikuti Rasul. Mereka menjawab:
cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. Dan
apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walau pun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk.” (al
Maidah: 104).
[5] Hadis ad Dar Yaum al Indzar: Bersabda Nabi saw sambil menunjuk kepada Ali:
“Sesungguhnya ini adalah saudaraku, washiku dan khalifahku setelahku. Maka
dengarlah dan taatilah dia.”[30] Hadis ini juga terbilang di antara
hadis-hadis shahih yang di nukil oleh para ahli sejarah ketika bercerita
tentang peristiwa pertama yang terjadi pada masa periode awal dari era
kebangkitan Nabi saw. Mereka menganggap hadis ini sebagai bagian dari mukjizat
Nabi saw. Namun politik telah merobah dan memalsukan kebenaran-kebenaran dan
fakta-faktanya. Tidak aneh memang. Karena apa yang pernah terjadi di zaman
kegelapan tersebut kini berulang lagi di zaman sekarang. Lihatlah Muhammad
Husain Haikal. Beliau telah mencatat hadis ini secara sempurna dalam kitabnya
“Riwayat Hidup Muhammad” halaman 104, cetakan pertama tahun 1354 H. Tetapi
dalam cetakan kedua dan seterusnya sebagian dari isi hadis nabawi ini, yakni
kalimat “washiku dan khalifahku setelahku” dihapus dan digunting. Mereka juga
telah menghapus dari kitab Tafsir Thabari jilid 19 halaman 121 bagian dari
sabda Nabi berikut “Washiku dan khalifahku” , dan menggantinya dengan kalimat
“Inilah saudaraku dan begini dan begitu…”!! Mereka lalai bahwa Thabari telah
menyebutnya secara sempurna dalam kitab sejarahnya jilid ke 2 pada halaman 319.
Lihatlah betapa mereka telah merobah kalimat dari tempatnya yang asal dan
memutar-balikkan fakta-fakta. Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut
mereka, dan Allah tetap akan menyalakan cahaya-Nya.
Ketika aku masih menelaah
dan mengkaji, aku ingin menyaksikan dengan mataku sendiri segala apa yang telah
terjadi. Aku cari buku Riwayat Hidup Muhammad cetakan pertama. Akhirnya
kujumpai juga setelah mengarungi berbagai liku-liku yang sulit dan melelahkan.
Alhamdulillah atas semua ini. Yang penting aku telah saksikan sendiri perobahan
itu. Aku tambah yakin bahwa tangan-tangan jahat berupaya dengan segala usaha
untuk menghapuskan kebenaran-kebenaran yang memang telah terbukti ada. Karena
mereka menganggap bahwa ini adalah dalil kuat yang akan digunakan oleh
“musuhnya”!
Tetapi bagi seorang
peneliti yang adil ketika menyaksikan perobahan seumpama ini akan merasa
bertambah yakin. Tanpa ragu-ragu dia akan berkata bahwa pihak kedua yang enggan
menerima dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak memiliki alasan yang kuat.
Mereka hanya melakukan makar dan tipu muslihat serta memutar balik fakta walau
dengan membayar mahal sekalipun. Mereka telah mengupah penulis-penulis tertentu
dan mengulurkan kepada mereka berbagai kekayaan, gelar dan ijazah-ijazah
perguruan tinggi yang palsu, agar dapat menuliskan segala sesuatu yang mereka
inginkan baik buku atau makalah-makalah tertentu. Yang penting tulisan itu
mencaci Syi’ah dan mengkafirkan mereka, serta membela dengan segala upaya
(walau itu batil) “kemuliaan” sebagian sahabat yang telah belok dari kebenaran
dan yang telah merobah hak menjadi batil sepeninggal Rasul saw. Firman Allah:
“Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan
mereka itu, hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah jelaskan tanda-tanda
kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.” (al Baqarah: 118). Maha Benar Allah
Yang Maha Agung.
Catatan:
[1] Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 4 hal. 241;
Siyar al-Alamin Oleh Imam Ghazali hal. 12; Tazkirah al-Khawas Oleh Ibnu
al-jauzi hal. 29; Riyadh Nadhirah jil. 2 hal. 169; Kanzul Ummal jil. 6 hal.
397; al-Bidayah wan Nihayah Oleh Ibnu Kathir ji1. 5 hal. 212; Tarikh Ibnu
Asakir jil. 2 hal. 50; Tafsir ar-Razi jil.5 hal. 63; Al-Hawi Lil Fatawi Oleh
Suyuthi jil. 1 hal. 12
[2] Tarikh Thabari, Ibnu Athir, Suyuthi,
al-Isti’ab dll.
[3] Tarikh al-Khulafa Oleh Ibnu Qutaibah jil. 1
hal. 8
[4] Sahih Bukhari jil. 4 hal. 127
[5] Syarh Nahjul Balaghah Oleh Muhammad Abduh
jil. 1 hal. 34
[6] Tarikh al-Khulafa’ jil. 1 hal. 17
[7] Lih. as-Saqifah Wal Khilafah Abdul Fattah Abdul
Maksud dan as-Saqifah Syaikh Muhamad Ridha al-Muzaffar
[8] Tarikh al-Khulafa jil. 1 hal 19; Syarh Nahjul
Balaghah oleh Ibnu Abil Hadid
[9] Shahih Bukhari jil. 3 hal 36; Sahih Muslim
jil. 2 hal 72
[10] Mengimbas peperangan Jamal ketika beliau
menunggangi onta
[11] Mengimbas ketika beliau menunggangi baghal
dalam usaha menghalangi Hasan dari dikuburkan dekat dengan pusara datuknya.
[12] Syarh Nahjul Balaghah Ibnu Abil Hadid jil.
16 hal. 220-223
[13] Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 107; Manaqib
al-Khawaizmi hal. 3,9; Tarikh al-Khulafa’ hal. 168; Sawiq al-Muhriqan hal. 72;
Tarikh Ibnu Asakir jil. 3 hal. 63; Syawahid at-Tanzil jil. 1 hal. 10
[14] Riyadh Nadhirah jil, 2 hal 282 Sawaiq
al-Muhriqah hal. 118, 72
[15] Shahih Bukhori jil. 2 hal. 202
[16] Fathul Bari Fi Syarhil Bukhori jil. 7 hal.
83; Tarikh al-Khulafa’ hal. 199; Sawaiq al-Muhriqah hal. 125
[17] Muwatto’ Imam Malik jil. 1 hal. 307; Maghazi
al-Waqidi hal. 310
[18] Shahih Turmizi jil. 4 hal. 339; Musnad Ahmad
bin Hanbal jil, 2 hal 319; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 51
[19] Shahih Muslim
[20] Shahih Bukhori jil. 4 hal. 184
[21] Al-Imam was-Siyasah jil. 1hal. 14; al Jahiz
hal. 301; A’lam an-Nisa jil. 3 hal. 12,15
[22] Tarikh al-Khawas hal. 23; Tarikh Ibnu Asakir
jil. 1 hal. 107; Tarikh Masu’di jil. 1 hal. 414
[23] Tazkirah al-Khawas hal. 234; Tarikh ibnu
Asakir jil. 1 hal.107; Manaqib al-Khawarizmi hal. 7; Fushul al-Muhaimmah Oleh
al-Maliki hal. 21
[24] Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 127; Tarikh
Ibnu Kathir jil.7 hal. 358
[25] Al-Isti’ab jil. 3 hal. 39; Manaqib al-Khawarizmi
hal. 48; Riyadh Nadhirah jil. 2 hal. 194
[26] Ibid jil. 2 hal. 198; Tarikh Khulafa’ hal.
124; Al-Itqan jil. 2 hal. 319; Fath al-bari jil. 8 hal. 485; Tahzib at-Tahzib
jil. 7 hal. 338
[27] Sunan ad-Darimi jil. 1 hal. 54 Tafsir Ibnu
Kathir jil. 4 hal. 232; Ad-Dur al-Manthur jil. 6 hal. 111
[28] Sunan Ibnu Majah jil. 1 hal. 44; Khasais
Nasai hal. 20; Sahih Turmizi jil. 5 hal. 300; Jami’ Ushul Oleh Ibnu Kathir jil.
9 hal. 471; Jami’ Shagir Oleh Suyuthi jil. 2 hal. 56; Riyadh Nadhirah jil.2
hal. 229
[29] Tarikh Ibnu Asakir jil. 2 hal. 448; Kunuz
al-Haqaiq Oleh al-Maulawi hal. 203; Kanzul Ummal jil. 5 hal. 33
[30] Tarikh Thabari jil. 2 hal. 319; Tarikh Ibnu
Athir jil. 2 hal. 62; As-Sirah al-Halabiah jil. 1 hal. 312; Syawahid at-Tanzil
Oleh Al-Haskani jil. 1 hal. 371; Kanzul Ummal jil.5 hal. 15; Tarikh Ibnu Asakir
jil. 1 hal. 85; Tafsir al-Khazin Oleh Alaudin as-Syafei; Hayat Muhammad Oleh
Husain Haikal Edisi pertama.