oleh
Sulaiman Djaya
Disampaikan
pada Diskusi Bedah Buku “Api Bawah Tanah” Karya Raudal Tanjung Banua di Aula
PKM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 22 November 2013 yang Diselenggarakan oleh
Bengkel Menulis dan Sastra (Belistra) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
“Lewat
tangan daratan
yang terulur ke laut
Kami memandang tanah seberang
bangsa-bangsa, aneka suku
membayang. Juga benua jauh
dan nasib yang disisihkan.”
yang terulur ke laut
Kami memandang tanah seberang
bangsa-bangsa, aneka suku
membayang. Juga benua jauh
dan nasib yang disisihkan.”
Seorang
penyair yang telah bertahun-tahun bergelut dengan penulisan puisi dan
“pengembaraan batin” serta “ziarah intelektual” tentulah memiliki fondasi dan
prinsip yang didasarkan dan dilandasi oleh pilihan sadar ketika menjadikan
“bentuk dan material estetika” tertentu bagi dan dalam kerja kreatif kepenulisannya.
Seorang penyair memang bekerja dan berkarya berdasarkan pilihan “rasa” dan
“imajinasi”, namun bukan berarti tidak ada logika dan “keteraturan” dalam
karya-karya puisi yang ditulisnya.
Bila
kita meminjam telaah Nietzsche tentang seni dan teater Yunani kuno, contohnya,
estetika dan sastra adalah perwujudan dimensi spirit apollonian dan spirit
dionissian. Yang pertama adalah keteraturan, logika, dan ciri yang tenang,
sedangkan yang kedua merupakan unsur-unsur keliaran, gairah, spontanitas, dan
ketakteraturan. Puisi dan seni biasanya merupakan hasil kompromi (perpaduan),
bahkan konfrontasi antara keduanya (antara yang apollonian dan dionissian
sebagaimana diteoritisasi Nietzsche itu).
Ada
saat-saat tertentu seorang penyair menulis puisinya dengan spontan seakan ia
sedang mendapatkan ilham yang deras dan membuncah. Namun, tak jarang seorang
penyair menulis puisi tak ubahnya seorang pengukir yang berusaha memahat
kata-kata, kalimat, dan bahasa. Kedua hal itu lazim dialami dan dilakukan
seorang penyair, sehingga puisi-puisi seorang penyair biasanya lahir dan
ditulis dalam dua “moment” tersebut, karena inspirasi yang kuat dan karena
ketekunan (craftsmanship), atau bahkan gabungan keduanya: inspirasi dan
ketekunan.
Meskipun demikian, puisi tidaklah lahir dari “kekosongan” di luar dunia. Ia lahir dan ditulis dari “sebuah dunia” yang diamati, dilihat, dan dirasakan seorang penyair, entah menyangkut pengalaman dan kenangan penyairnya atau menyangkut ikhtiar intelektualnya yang kemudian di-rekonstruksi dan di-imajinisasi dengan daya pikir dan daya rasa, yang lalu ditulis dan disuarakan dengan rima dan bahasa.
Meskipun demikian, puisi tidaklah lahir dari “kekosongan” di luar dunia. Ia lahir dan ditulis dari “sebuah dunia” yang diamati, dilihat, dan dirasakan seorang penyair, entah menyangkut pengalaman dan kenangan penyairnya atau menyangkut ikhtiar intelektualnya yang kemudian di-rekonstruksi dan di-imajinisasi dengan daya pikir dan daya rasa, yang lalu ditulis dan disuarakan dengan rima dan bahasa.
Saat
mengimajinasi itulah seorang penyair berusaha “memahat” dan “mengukir” kata,
kalimat, frase menjelma kiasan dan narasi. Ia bisa saja menggunakan pilihan
bentuk yang sudah ada dengan berusaha memperbaharuinya secara segar berdasarkan
perkembangan bahasa dan ujaran mutakhir yang tidak lagi klise dan aus.
Pengalaman pembacaan dengan karya-karya sebelumnya atau yang sezamannya,
intertekstualitas, atau jam terbang “ziarah”-nya atas karya-karya orang lain
dan dirinya sendiri biasanya akan memperkaya dan mematangkannya.
Hal-hal
tersebut, saya kira, telah ada dan dimiliki oleh Raudal Tanjung Banua, ketika
puisi-puisinya berusaha melakukan penyegaran dan “penulisan ulang” pantun,
lirik, dan mantra, utamanya dalam buku puisi keduanya setelah Gugusan Mata Ibu,
yaitu Api Bawah Tanah, seperti ketika penyairnya berusaha melakukan parodi
santun atas pesimisme lirik dan pantun Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke:
mereka yang tak berumah
tak akan membangun lagi
tapi di bantul,
mereka yang tak membangun
tentu tak akan berumah lagi.
maka dengarlah suara
bambu, bata, dan paku-paku
gergaji dan palu
pada berlagu
tentang rumah kecil papa
mengjengkal segala lupa.
Puisi yang berjudul Mereka yang Tak Berumah (tak) Akan Membangun Lagi itu adalah suatu narasi tentang masyarakat Bantul paska gempa Jogja tahun 2006. Puisi tersebut memberitahu kepada kita, para pembaca, bahwa saat kejadian gempa di Jogja itu, penyairnya teringat paragraf terakhir puisi Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke,
“Mereka yang tak berumah,
tak akan membangun lagi.
Mereka yang sendiri, akan lama menyendiri,
akan jaga, membaca, menulis surat panjang
dan akan melangkah hilir mudik di jalanan
gelisah, bila dedaunan beterbangan”
(Terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Krista Saloh-Forster).
Bila kita baca sekilas, paragraf terakhir puisi Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke dan puisi Mereka yang Tak Berumah (tak) Akan Membangun Lagi-nya Raudal Tanjung Banua tersebut seakan tidak ada perbedaan yang penting secara stilistik dan dari sudut “dunia” dan “kosmologi”-nya. Tetapi, bila kita simak secara seksama, nampaklah bahwa puisinya Raudal Tanjung Banua lebih kuat bunyi pantun-nya, sedangkan puisinya Rilke menggabungkan keseimbangan bunyi lirik dan pantun.
mereka yang tak berumah
tak akan membangun lagi
tapi di bantul,
mereka yang tak membangun
tentu tak akan berumah lagi.
maka dengarlah suara
bambu, bata, dan paku-paku
gergaji dan palu
pada berlagu
tentang rumah kecil papa
mengjengkal segala lupa.
Puisi yang berjudul Mereka yang Tak Berumah (tak) Akan Membangun Lagi itu adalah suatu narasi tentang masyarakat Bantul paska gempa Jogja tahun 2006. Puisi tersebut memberitahu kepada kita, para pembaca, bahwa saat kejadian gempa di Jogja itu, penyairnya teringat paragraf terakhir puisi Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke,
“Mereka yang tak berumah,
tak akan membangun lagi.
Mereka yang sendiri, akan lama menyendiri,
akan jaga, membaca, menulis surat panjang
dan akan melangkah hilir mudik di jalanan
gelisah, bila dedaunan beterbangan”
(Terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Krista Saloh-Forster).
Bila kita baca sekilas, paragraf terakhir puisi Herbsttag-nya Rainer Maria Rilke dan puisi Mereka yang Tak Berumah (tak) Akan Membangun Lagi-nya Raudal Tanjung Banua tersebut seakan tidak ada perbedaan yang penting secara stilistik dan dari sudut “dunia” dan “kosmologi”-nya. Tetapi, bila kita simak secara seksama, nampaklah bahwa puisinya Raudal Tanjung Banua lebih kuat bunyi pantun-nya, sedangkan puisinya Rilke menggabungkan keseimbangan bunyi lirik dan pantun.
Tentu
saja, dua puisi tersebut juga berbicara tentang konteks dan peristiwa yang
berbeda: Rilke bercerita tentang seseorang, yang dalam hal ini Rilke sendiri,
sebagai orang asing yang merasa kesepian, yang pada saat bersamaan ia
bandingkan dengan nasib orang-orang yang terasing dan terusir, sementara Raudal
Tanjung Banua berusaha menghadirkan makna dan arti rumah sebagai “ruang
tinggal” atau space of staying sekaligus sebagai space of going (ruang
kepergian) ketika si penyair melakukan komparasi pada dirinya sendiri sebagai
seorang yang “hijrah” dari tanah kelahiran pada satu sisi, dan pada sisi
lainnya tentang pentingnya rumah bagi para settler, bagi orang-orang yang telah
lama “tinggal” yang menjadikan dan memaknakan rumah sebagai tempat berlindung
satu-satunya yang sekaligus makna “rumah” bagi si penyair sebagai sesuatu dan
ruang yang intim sekaligus asing.
Dalam
puisi tersebut, penyairnya juga tampak sengaja mengaburkan makna “rumah”
sebagai tempat dan ruang tinggal dan sebagai “kampung halaman”. Namun, baik
puisinya Rilke dan Raudal Tanjung Banua sama-sama “mengimajinasikan” dan
“menggambarkan” rumah sebagai “ruang batin”:
“kemarau dengan lebuh debu
telah berlalu di langit dukuh
bersama rumah-rumah yang dulu
tak kuasa menanggung berat derita bumi
kini semua tegak kembali
merekat yang lama dan yang baru
yang manis, retak dan kelabu.
mereka yang sendiri
mungkin akan lama menyendiri
di sudut rumah rindu minta dihuni
dan mereka yang pergi
tentu tak akan membangun lagi
karena rumah, karena rumah,
hanyalah tanda kasih, kecil-papa,
jauh di bumi.”
Teranglah kepada kita, bila kita baca sekali lagi, kita akan menemukan makna “rumah” dalam arti yang lebih luas, yaitu ekologi dan lingkungan, yang dalam sajak tersebut digambarkan sebagai “derita bumi” yang tentu saja dapat kita artikan sebagai “kerusakan ekologi” yang menyebabkan rusaknya keseimbangan dan ekosistem yang berdampak pada “bencana”.
“kemarau dengan lebuh debu
telah berlalu di langit dukuh
bersama rumah-rumah yang dulu
tak kuasa menanggung berat derita bumi
kini semua tegak kembali
merekat yang lama dan yang baru
yang manis, retak dan kelabu.
mereka yang sendiri
mungkin akan lama menyendiri
di sudut rumah rindu minta dihuni
dan mereka yang pergi
tentu tak akan membangun lagi
karena rumah, karena rumah,
hanyalah tanda kasih, kecil-papa,
jauh di bumi.”
Teranglah kepada kita, bila kita baca sekali lagi, kita akan menemukan makna “rumah” dalam arti yang lebih luas, yaitu ekologi dan lingkungan, yang dalam sajak tersebut digambarkan sebagai “derita bumi” yang tentu saja dapat kita artikan sebagai “kerusakan ekologi” yang menyebabkan rusaknya keseimbangan dan ekosistem yang berdampak pada “bencana”.
Ternyata,
dalam puisi, kata “rumah” yang selama ini hanya kita anggap sebagai “kata
benda” bisa juga memiliki arti dan makna “kata keterangan” yang memancarkan
ragam arti dan “pemaknaan” sesuai dengan konteks puisi dan struktur “teks”
puisi itu sendiri. Karena itulah, seringkali dikatakan, sebuah puisi atau teks
sastra secara umum, menciptakan “dunia”, “kosmologi”, dan “realitas” sendiri,
yang bahkan acapkali lepas dari intensi dan “niat pemakanaan” yang dikehendaki
oleh penyairnya.
Tepat,
di sini lah, bila kita meminjam wawasan hermeneutika, teks sastra mengalami dan
mendapatkan dirinya “otonom” atau terbebas dari penulisnya. Sebab, karya sastra
dan “teks” yang telah dituliskan atau “fixed writing” telah memiliki
kemungkinan pembacaannya sendiri, meski kita dapat saja menelusuri sejarah
konteks penulisan dan latar belakang penulisnya sekedar untuk mengetahui
konteks sosiologis atau politis sebuah teks sastra sebelum kita membaca teks sastra
itu sendiri.
Secara umum, puisi-puisi Raudal Tanjung Banua yang terkumpul dalam buku Api Bawah Tanah masih setia mempertahankan bentuk dan bunyi pantun dan mantra, sebagaimana dalam buku pertamanya yang berjudul Gugusan Mata Ibu. Kita tahu pantun merupakan bentuk yang tertib dan dapat melahirkan sugesti dan “aura” magis bunyi mantra karena repetisi rimanya, sebuah unsur yang juga lazim ada pada seni musik. Repetisi inilah yang membuat sebuah bunyi dan narasi puisi menjelma musik yang menggunakan kata-kata dan bahasa sebagai instrument musikalnya.
Secara umum, puisi-puisi Raudal Tanjung Banua yang terkumpul dalam buku Api Bawah Tanah masih setia mempertahankan bentuk dan bunyi pantun dan mantra, sebagaimana dalam buku pertamanya yang berjudul Gugusan Mata Ibu. Kita tahu pantun merupakan bentuk yang tertib dan dapat melahirkan sugesti dan “aura” magis bunyi mantra karena repetisi rimanya, sebuah unsur yang juga lazim ada pada seni musik. Repetisi inilah yang membuat sebuah bunyi dan narasi puisi menjelma musik yang menggunakan kata-kata dan bahasa sebagai instrument musikalnya.
Selain
unsur musik, yang terkandung dalam pantun adalah juga permainan, terutama
permainan bunyi dan rima yang tentu juga mensyaratkan kecerdikan dan kemahiran
seorang penyair untuk menulis sebuah puisi pantun yang tidak aus alias sekedar
mengulang khazanah lama tanpa melakukan upaya “penulisan” kembali yang sejalan
dengan perkembangan bahasa dan ujaran kita saat ini.
Pada
konteks inilah puisi-puisi Raudal Tanjung Banua berusaha “mengaktualkan”
khazanah pantun dan mantra yang merupakan khazanah warisan masyarakat
Indonesia, khususnya masyarakat Melayu, yang tentu telah diakrabinya secara
sangat baik sebagai seorang penyair yang lahir dari “tradisi” tersebut, sebuah
tradisi yang juga telah diakrabi dan diolah para penyair Indonesia di masa lalu
semisal Amir Hamzah yang puisi-puisinya juga mencerminkan kematangan
“penggabungan” khazanah lirik dan pantun.
Sebagaimana dapat kita baca dalam buku Api Bawah Tanah dan Gugusan Mata Ibu, tanah kelahiran penyairnya, kampung halamannya, yang dapat kita artikan juga sebagai “tradisi” dan “khazanah hidup”, atau tentang tempat-tempat yang minimal telah dianggapnya sebagai “kampung halaman” secara bathin serta ingatan tentang itu semua menjadi bahan material dan perenungan banyak dari puisi-puisinya, meski penyairnya telah lama tinggal dan bergelut di Jogjakarta, yang sebagai perwakilannya dapat kita contohkan dengan puisinya yang berjudul Ziarah Pohon:
“Di Wangka, sepanjang Sungaiiliat dan Belinyu
dari Tanjung Penyusuk ke Tanjung Ru
aku berziarah. Bukan ke Gua Maria
bukit Moh Thian Liang, bukan ke Bakit
makam Hotaman Rasyid, bukan ke Liang San Phak
dan makam keramat Kapitan Bong
di klenteng dan sunyi Benteng Kutopanji.
Aku berziarah ke pohon-pohon masa kecilku
yang berderet mengurung
halaman kampung –kampung halaman
jauh terpencil.
Durian nangka cempedak hutan
daun-daunnya gugur di angin santer
langsat manggis duku
pucuk-rantingnya sayup di awan.
Semak rangsam di pinggir jalan
rumpun sagu di rawa selokan
cengkeh dan mete rimbun daun
di pantai ketapang mencumbu karang
bambu-pimping-paku bergoyangan di tebing
berpakis haji. Jambu-kweni-ambacang
jatuh berdebum di halaman klenteng dan surau kampung
bangunkan lelap muazin dan penggerek lonceng.
Kantong semar memerangkap serangga
dan kupu-kupu, diam-diam,
hingga mumbang jatuh kelapa jatuh
di pantai itu!
Begitulah kuziarahi pohon-pohon hayatku
yang menyatu sebagai liat tubuh ibu
bayang-bayangnya melindap
meneduhi bunga dan akar yang kurawat.”
Seperti terasa jelas kepada kita sebagai pembaca, “ziarah” yang ditawarkan puisi berjudul Ziarah Pohon tersebut adalah ziarah batin, menziarahi segala hal yang telah akrab bagi penyairnya, bukan ziarah kepada monumen-monumen dan tugu-tugu bisu yang tidak berkaitan dengan pengalaman hidup dan pengalaman batin seorang penyair, di mana seorang peziarahnya tak lain adalah seorang penyairnya sendiri. Apa saja yang diziarahinya? Bila kita mengacu kepada puisi Ziarah Pohon tersebut, si penyairnya menziarahi detil-detil tempat dan benda-benda yang pernah dijumpai, dihidupi, dan diintiminya: “tanah kelahiran” dan “kampung halaman” bathin-nya, sebelum seorang penyairnya akhirnya hijrah dan meninggalkannya, yang karena “tanah kelahiran” dan “kampung halaman” itu telah sedemikian nyatanya, minimal secara batin, membuatnya tetap nyata dan akrab meski telah ditinggalkan, menjadi ingatan dan kenangan batin, menjadi “space of staying” bathin.
Sebagaimana dapat kita baca dalam buku Api Bawah Tanah dan Gugusan Mata Ibu, tanah kelahiran penyairnya, kampung halamannya, yang dapat kita artikan juga sebagai “tradisi” dan “khazanah hidup”, atau tentang tempat-tempat yang minimal telah dianggapnya sebagai “kampung halaman” secara bathin serta ingatan tentang itu semua menjadi bahan material dan perenungan banyak dari puisi-puisinya, meski penyairnya telah lama tinggal dan bergelut di Jogjakarta, yang sebagai perwakilannya dapat kita contohkan dengan puisinya yang berjudul Ziarah Pohon:
“Di Wangka, sepanjang Sungaiiliat dan Belinyu
dari Tanjung Penyusuk ke Tanjung Ru
aku berziarah. Bukan ke Gua Maria
bukit Moh Thian Liang, bukan ke Bakit
makam Hotaman Rasyid, bukan ke Liang San Phak
dan makam keramat Kapitan Bong
di klenteng dan sunyi Benteng Kutopanji.
Aku berziarah ke pohon-pohon masa kecilku
yang berderet mengurung
halaman kampung –kampung halaman
jauh terpencil.
Durian nangka cempedak hutan
daun-daunnya gugur di angin santer
langsat manggis duku
pucuk-rantingnya sayup di awan.
Semak rangsam di pinggir jalan
rumpun sagu di rawa selokan
cengkeh dan mete rimbun daun
di pantai ketapang mencumbu karang
bambu-pimping-paku bergoyangan di tebing
berpakis haji. Jambu-kweni-ambacang
jatuh berdebum di halaman klenteng dan surau kampung
bangunkan lelap muazin dan penggerek lonceng.
Kantong semar memerangkap serangga
dan kupu-kupu, diam-diam,
hingga mumbang jatuh kelapa jatuh
di pantai itu!
Begitulah kuziarahi pohon-pohon hayatku
yang menyatu sebagai liat tubuh ibu
bayang-bayangnya melindap
meneduhi bunga dan akar yang kurawat.”
Seperti terasa jelas kepada kita sebagai pembaca, “ziarah” yang ditawarkan puisi berjudul Ziarah Pohon tersebut adalah ziarah batin, menziarahi segala hal yang telah akrab bagi penyairnya, bukan ziarah kepada monumen-monumen dan tugu-tugu bisu yang tidak berkaitan dengan pengalaman hidup dan pengalaman batin seorang penyair, di mana seorang peziarahnya tak lain adalah seorang penyairnya sendiri. Apa saja yang diziarahinya? Bila kita mengacu kepada puisi Ziarah Pohon tersebut, si penyairnya menziarahi detil-detil tempat dan benda-benda yang pernah dijumpai, dihidupi, dan diintiminya: “tanah kelahiran” dan “kampung halaman” bathin-nya, sebelum seorang penyairnya akhirnya hijrah dan meninggalkannya, yang karena “tanah kelahiran” dan “kampung halaman” itu telah sedemikian nyatanya, minimal secara batin, membuatnya tetap nyata dan akrab meski telah ditinggalkan, menjadi ingatan dan kenangan batin, menjadi “space of staying” bathin.
Ia
tidak “menziarahi” tempat-tempat, tugu-tugu, dan monumen-monumen yang tidak
“berkenaan” dengan pengalaman hidup dan kenangan serta ingatan batinnya sebagai
seorang penyair. Begitu pun, dalam puisi Ziarah Pohon tersebut, penyairnya
hendak memberikan pemaknaan bahwa “ziarah” bukanlah semata “wisata” yang
sifatnya sekedar menjumpai “eksotisme” atau “masa silam” yang tidak
“menyumbangkan” kosmik subjektif bagi “historiografi personal” si penyairnya.