Oleh Jamal D. Rahman*
Memandang ke arah depan dari lantai 8 hotel itu, saya tiba-tiba terdiam. Di hadapan saya kini terbentang pemakaman kuno yang sudah lama terngiang-ngiang di telinga hati saya. Di pemakaman itu dikuburkan keluarga Rasulullah SAW, antara lain Siti Khadidah (istri), Qasim bin Muhammad (anak), Abdul Muthalib (kakek), Abu Thalib (paman), dan para sahabatnya. Inilah Ma’la, pemakaman keluarga besar Bani Hasyim, trah keluarga Rasulullah, yang kemudian dijadikan pemakaman umum. Terletak sekitar 1 km utara kota Makkah, Saudi Arabia, Jannatul Ma’la —nama lengkapnya— menyeret saya ke masa silam yang jauh.
Tetapi, saya terdiam bukan karena di hadapan saya terbentang kuburan keluarga Rasulullah SAW. Toh saya sudah ziarah ke kuburan Rasulullah SAW, Abu Bakar, dan Umar di Masjid Nabawi, Madinah. Sudah pula ziarah ke makam keluarga Rasulullah dan para sahabatnya di Baqi, sekitar 50 m dari Masjid Nabawi. Shalawat, doa, dan airmata sudah saya panjatkan ke tangga-tangga langit yang sunyi. Maka memandang Ma’la kini, yang terlihat jelas dari lantai 8 hotel tempat saya menginap pada musim haji 2006, saya “hanya” merasa bertemu kembali dengan keluarga dan sahabat Rasulullah yang belum lama saya kunjungi.
Yang membuat saya terdiam adalah ini: di antara keluarga dan sahabat Rasulullah SAW di pemakaman Ma’la itu terdapat mahaguru saya, Syekh Nawawi al-Bantani. Saya terdiam. Saya terhentak. Lebih dari sekadar menyeret saya ke masa silam yang jauh, Ma’la telah mengingatkan saya pada seorang mahaguru yang nyaris terhapus dari ingatan saya. Ma’la telah mencubit batin saya sambil berkata, “Disaksikan keluarga Rasulullah, kini aku memanggilmu sebab Syekh Nawawi al-Bantani berhak mendapatkan penghormatanmu.” Saya baca shalawat dan al-fatihah untuk Syekh yang berbahagia itu. Berulang-ulang.
Saya merasa bersalah pada diri sendiri: bagaimana bisa saya melupakan Syekh Nawawi, kepada siapa saya pertama-tama belajar Islam di akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Di pesantren-pesantren di Madura, mulai pesantren Nurul Yaqin, pesantren Annuqayah, pesantren Kayu Manis, hingga pesantren Al-Amien Prenduan, saya mempelajari kitab-kitab Syekh Nawawi tentang fiqih, akhlak, tauhid, tasawuf, dan tafsir. Syekh Nawawi hadir dalam hidup saya pada masa-masa awal pengisian hati dan pikiran saya dengan berbagai disiplin ilmu.
Saya merasa bersalah pada diri sendiri: kenapa saya melupakan Syekh yang telah menulis puluhan —konon seratus lebih— kitab itu. Semuanya dalam bahasa Arab, bahasa ilmu dan bahasa internasional Dunia Islam. Dan, sedikitnya 20 kitabnya masih diajarkan hingga sekarang di banyak pesantren di Indonesia. Ketika Juli 2007 lalu saya pulang ke Madura, saya datang ke sebuah tokoh buku di Sumenep. Kepada penjaga toko saya katakan bahwa saya mencari buku-buku karya Syekh Nawawi Banten. Saya sebutkan 20 judul buku Syekh satu demi satu. Si penjaga toko dengan cepat dan sigap mengambil kitab yang saya sebutkan. Dari 20 judul yang saya sebutkan, 17 judul saya dapatkan ketika itu juga. Menurut penjaga toko, 3 judul lainnya masih beredar tetapi saat itu stok sedang kosong. Dia menjanjikan 3 judul itu akan tersedia minggu depan. Sayang, saya keburu kembali ke Jakarta.
Saya merasa bersalah pada diri sendiri: kenapa saya tidak menghormati sepenuh penghormatan Syekh yang mendapatkan berbagai gelar kehormatan internasional ini. Dia mendapat banyak sekali gelar akademis (semacam Guru Besar atau Profesor dan Doctor Honoris Causa sekarang), gelar moral dan spiritual. Yaitu al-‘Âlim (Ilmuwan), al-Fâdhil (Yang Utama), al-Wara` (Yang Bertaqwa), al-Kâmil (Yang Sempurna), al-Muhaqqiq (Peneliti), al-Humâm (Yang Mulia), Imamul ‘Ilm (Imam Ilmu), min A’yân-i ‘Ûlamâ-i ‘l-Qarn-i ‘r-Râbi` `Asyar lil-Hijrah (Salah Seorang Ulama Senior Abad Ke-14 Hijriyah). Gelar paling prestisius yang disandang Syekh Nawawi adalah Sayyidu ‘Ulamail Hijaz (Mahaguru atau Guru Besar Ulama Hijaz). Hijaz adalah kawasan sekitar Makkah dan Madinah, pusat (keilmuan) Islam paling penting dan terkemuka.
Bahwa seorang putera kelahiran Tanara, Banten, di abad ke-19 mendapatkan semua gelar kehormatan tersebut, pastilah itu merupakan sebuah prestasi yang amat gemilang dan membanggakan. Semua gelar itu jelas merupakan pengakuan dunia Islam yang tak terbantahkan atas otoritas intelektual, moral, dan spiritual Syekh Nawawi Banten, yang diterimanya dari dan di pusat (intelektual dan spiritual) Islam paling penting di dunia.
Saya merasa bersalah pada diri sendiri: kenapa saya tidak mengagungkan Syekh Nawawi al-Bantani sepenuh pengagungan. Padahal dia adalah ulama kepada siapa tokoh-tokoh sekaliber Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Syaikhuna Khalil Bangkalan, K.H. Ilyas Serang, dan K.H. Tubagus Muhammad Asnawi Caringin —untuk menyebut sebagian saja— pernah belajar. Melalui para santrinya ini, Syekh Nawawi bukan saja memainkan peran keilmuan dan keagamaan di Indonesia, melainkan juga memainkan peran sosial dan politik. Di samping menjadi tokoh masyarakat, agama, dan pendidikan terkemuka, banyak santrinya adalah juga pejuang kemerdekaan tidak hanya di Banten, melainkan juga di daerah-daerah lain. Syaikhuna Khalil Bangkalan, misalnya, pernah ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh Belanda.
Saya merasa bersalah pada diri sendiri: kenapa saya tidak mencintai dengan sepenuh hati Syekh yang amat mencintai dan selalu merindukan kampung halamannya ini. Tanara, Banten, dan Jawa dinisbatkan pada namanya. Lahir di Tanara, Banten di tahun 1813, lalu tinggal untuk belajar dan kemudian mengajar di Makah dan Madinah hingga meninggal di Makah pada tahun 1897, dia dikenal dengan nama Syekh Muhammad Nawawi ibnu Umar Al-Jawi al-Bantani at-Tanari.
Meskipun kemudian tinggal di Makkah, dia pasti sangat mencintai Banten sebagai kampung halamannya sendiri. Dalam kitab Nihayat-u ‘z-Zayn, Syekh Nawawi secara eksplisit menyebut Tanara sebagai tanah airnya (at-tanârî balad-an). Dalam kitab Kâsyifat-u ‘s-Sajâ, dia secara eksplisit menyebut Banten sebagai provinsinya (al-bantinî iqlîm-an) dan menyebut Tanara sebagai tempat pertumbuhan dan rumahnya sendiri (at-tanârî mansya-an wa dâr-an). Menyebut Tanara, Banten, dan Jawa dalam kitab-kitabnya, Syekh Nawawi telah mengenalkan kampung halaman yang dicintainya ke lingkungan dunia Islam yang luas. Sebab, kitab-kitabnya diterbitkan di Mesir, Beirut, dan Libanon. Baru belakangan diterbitkan di Indonesia.
Tak pelak lagi Syekh Nawawi Banten adalah ilmuwan terkemuka yang sangat produktif, dan otoritas keilmuannya diakui secara internasional. Ketika saya sadar bahwa namanya hanya terdengar sayup-sayup di dalam dan di luar tubuh saya, saya merasa sesuatu yang ganjil telah terjadi: jangan-jangan Syekh Nawawi Banten tidak mendapatkan hak yang semestinya dia terima dari anak-anaknya sendiri.
Saya merasa bersalah pada diri sendiri: kenapa saya melupakan ulama yang mencintai puisi ini, yang memperkenalkan saya pada kedalaman banyak sekali puisi berbahasa Arab.
Maka, dari lantai 8 hotel itu saya turun, menyeberangi tiga jalan raya yang memisahkan hotel dengan Ma’la. Saya ingin mendekat ke makam Syekh Nawawi Banten. Saya ingin mencium tangan dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya. Sayangnya, sebagaimana di Baqi, di Ma’la semua makam adalah anonim. Meskipun demikian, berada di dalam kompleks pemakaman itu, saya merasa mengaji kembali kitab-kitab Syekh Nawawi langsung pada sang Syekh. Saya pun mengirimkan shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya, khususnya keluarga Rasulullah yang dikubur di sana. Kemudian saya baca lagi al-fatihah untuk Syekh Nawawi. Berulang-ulang. Dan, seakan mewakili seluruh anggota tubuh saya, diam-diam jari-jemari saya berbisik, “Syekh Nawawi, maafkan kami ….
*) Jamal D. Rahman, penyair, pemimpin redaksi majalah sastra Horison, Jakarta.