Ibnu Abil
Hadid, salah seorang ulama besar yang amat terkenal, mengenai Imam Ali dalam
mukaddimahnya untuk mengomentari kitab Nahjul Balaghah yang berisi
khutbah-khutbah dan kata-kata mutiara Imam Ali menuliskan: "Apa yang bisa
aku katakan mengenai figur Imam Ali yang sebenarnya, sementara musuh-musuh
beliau sekalipun tidak bisa mengingkari keutamaan dan keistimewaan beliau.
Mereka semua mengakui bahwa Imam Ali adalah figur yang paling istimewa. Apa
yang bisa aku katakan tentang beliau yang semua jenis keutamaan wujud pada diri
beliau. Para pemeluk agama non-Islam yang mentelaah kepribadian beliau menaruh
kecintaan kepada beliau, dan bahkan para filsuf non-Muslimpun menjujung tinggi
beliau. Nama Ali dan kenangan-kenangan beliau ibarat haruman kesturi yang tetap
akan menebarkan aroma wangi kendati ditutupi bagaimanapun juga. Dia ibarat
cerahnya hari yang jika seseorang tidak melihatnya, orang lain pasti akan
menyaksikannya. Dalam keutamaan dan kesempurnaan, tak satupun sampai pada
derajat kaki beliau. Dan siapa saja yang mencapai suatu derajat keilmuan dan
fadilah yang tinggi setelah beliau, pasti ilmu dan fadilah itu berasal dari
beliau. Jejak beliaulah yang diikuti oleh orang-orang itu. Cara beliaulah yang
dicontoh."
Syaikh Muhammad
Abduh seorang ulama terkenal Mesir dan pernah menjabat sebagai Rektor di
Universitas Al-Azhar. Beliau juga punya syarah atau komentar terhadap kitab
Nahjul Balaghah. Tentang bagaimana beliau mengenal Nahjul Balaghah beliau
menuturkan:
"Karena
takdir dan secara tidak sengaja, saya mengenal kitab Nahjul Balaghah. Saya
dapati kitab ini sebagai santapan ruhani dan jalan untuk mengatasi berbagai
kesedihan saya. Karena itu berbagai bagian dari kitab ini telah saya renungkan
dengan cermat. Setiap kali satu bagian saya lewati, saya benar-benar merasakan
adanya perubahan topik dan masalah-masalah baru. Dari topik-topik yang begitu
tinggi dan dikemas dengan ungkapan-ungkapan yang sangat indah, adakalanya saya
merasa berada di alam yang besar. Ungkapan-ungkapan itu ditujukan kepada hati
dan batin-batin yang cerah agar jalan yang benar dapat direntangkan kepadanya.
Ungkapan-ungkapan itu sangat berharga, sampai-sampai sanggup membawa ruh
seolah-olah terpisah dari alam materi menuju alam malakut."
Antara lain dia
pernah menuliskan: "Setiap kali saya mentelaah kitab Nahjul Balaghah bab
demi bab, saya merasa tabir pembicaraan datang silih berganti dan arena-arena
nasihat dan hikmatpun berubah. Diantara para ilmuan, ahli bahasa dan sastera
Arab, tak seorangpun yang menyangkal kebesaran Imam Ali. Setelah Kalamullah dan
hadith Rasul, kata-kata Imam Ali-lah yang paling agung, punya metode terbaik
dan paling mengandung arti dan makna."
Faktor yang
terpenting dari kebesaran pribadi Imam Ali selain dari kefasihan dan kebalighan
(memilih kata yang tepat dan mudah), ialah kedekatannya dengan Rasul. Terutama
karena sejak hari-hari pertama pengutusan nabi, Imam Ali termasuk pengikut
setia Rasul. Dimasa itu, beliau banyak mengenal ajaran-ajaran wahyu. Karena
itu, wujud beliau sarat dengan ajaran-ajaran Ilahi.
Ahmad Zaini,
sejarawan masyhur Mesir dalam bukunya yang berjudul Imam Ali ibn Abi Thalib
menulis: "Khutbah-khutbah Imam Ali yang penuh hikmah itu ibarat curahan
air dari jalur yang paling dekat dan seiring dengan jiwa manusia serta dengan
mudah dapat menyerap ke hati insan. Imam Ali sejak masa kanak-kanak di pelihara
di rumah Rasul. Beliau besar di rumah Nubuwwah, ayunan hikmah dan sumber
keutamaan. Beliau selalu bersama Rasul hingga detik-detik Rasul menutup mata
meninggalkan dunia. Imam Ali temasuk penulis besar dan juru tulis wahyu yang
diterima Rasul. Dia menghafal Al-Quran dengan baik."
Menurut ibarat
Khatib Khawarizmi, seorang sasterawan dan ilmuwan Muslim terkenal: "Ali
ialah seorang yang tenggelam di dalam ibadah di mihrabnya ketika malam hari,
dengan khusyu disertai deraian air mata; akan tetapi, berdiri tegak bagai singa
padang pasir, membela Islam dan Muslimin ketika siang hari. Beliau menjauhkan
diri dari harta baitul maal sekecil apapun. Ali adalah penghancur
berhala-berhala di atas Ka'bah; dimana beliau memanjatnya dengan naik ke atas
bahu Rasulullah SAWW."
Ustadz Muhammad
Taqi Ja'fari, seorang ulama dan failasuf besar Islam, ketika berbicara tentang
pengaruh pribadi-pribadi besar seperti Imam Ali A.S di dalam masyarakat
menulis: "Masalah pengaruh seseorang di dalam masyarakat, baik Islam
ataupun bukan Islam, bukan masalah kekuasaan. Oleh karena itu, di dunia ini,
walaupun secara fisik, kekuasaan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
masyarakat, akan tetapi orang-orang yang memiliki kekuasaan tersebut, tidak
bisa tampil sebagai panutan dan tauladan, apalagi sebagai pemimpin dimana
petunjuk-petunjuknya akan ditaati dengan sepenuh hati. Orang-orang seperti
Jengis Khan atau Hitler, ketka mereka telah menciptakan kehancuran di dalam
masyarakat, tanpa membuat suatu ide atau langkah-langkah yang bermanfaat bagi
masyarakat tersebut, maka mereka itu tak lain bagaikan banjir bandang yang
merusak segala apa yang diterjahnya. Di samping orang-orang yang demikian itu,
ada pula orang-orang yang telah tercatat di dalam sejarah bahwa di dalam
masyarakat, mereka telah melakukan hal-hal yang manusiawi; sehingga
kadang-kadang bisa juga dikatakan bahwa mereka itu merupakan penentu atau
subyek sejarah kehidupan manusia pada zaman mereka dan setelah mereka. Mereka
ini adalah orang-orang yang telah mengumpulkan sifat-sifat utama di dalam diri
mereka; bahkan mereka telah mengorbankan kehidupan mereka demi kebahagian; dan
setiap manusia dapat menikmati manfaat dari ilmu pengetahuan mereka. Ali A.S
berada di antara orang-orang yang demikian itu."
Pada kesempatan
lain Ustadz Muhammad Taqi mengatakan: "Rasa cinta adalah sebuah watak
manusiawi yang tinggi, yang bisa dilihat pada setiap manusia. Pada
manusia-manusia biasa, rasa cinta akan berubah seketika menjadi rasa benci,
hanya karena pihak yang ia cintai itu berbuat suatu kesalahan yang kadang
kecil-kecil saja. Akan tetapi bagi manusia besar dan mulia yang menjadi obyek
cintanya ialah esensi atau Dzat manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, apa pun
yang dilakukan oleh seseorang, maka cinta orang ini kepada seseorang itu tidak
akan berubah menjadi kebencian kepada pribadi. Hal ini bisa dilihat di dalam
diri Imam Ali A.S. Ketika perang Siffin, pasukan Muawiyah yang menguasai bagian
atas atau arah hulu sungai Furat, telah berbuat sedemikian rupa sehingga
menghalangi pasukan Imam Ali untuk menggunakan air sungai itu. Akan tetapi
ketika posisi berubah dan pasukan Imam Ali A.S berhasil menempati bagian atas
sungai dan pasukan Muawiyah berada di bagian bawah sungai, Imam Ali A.S
memerintahkan pasukannya untuk membiarkan pasukan Muawiyah untuk menggunakan
air sungai.
Demikian pula
ketika pembunuh Imam Ali A.S berhasil memukulkan pedang beracunnya kepada
beliau. Maka beliau mengatakan kepada putranya, yaitu Imam Hassan A.S dengan
mewasiatkan bahwa jika beliau meninggal, maka bunuhlah orang itu, tetapi tanpa
menyiksanya.
Demikianlah,
bahkan terhadap musuh-musuh beliau. Beliau tidak memperlakukan mereka
berdasarkan kebencian pribadi. Tetapi semuanya beliau lakukan demi menjalankan
ajaran-ajaran Islam.
Syibli Syamil,
seorang pemikir non-Muslim mengatakan: "Ali bin Abi Thalib, seorang
pemimpin, pembesarnya para pembesar, adalah seorang tokoh yang abadi, dimana
tidak barat dan tidak timur, tidak masa lalu dan tidak masa kini, semuanya
tidak akan mampu melahirkan manusia yang setara dengannya. Beliau adalah
manusia langka yang telah menggabungkan kekuatan dan keadilan sebagai
sifat-sifat beliau yang menonjol."
Pribadi-pribadi
semacam ini, walau semua orang berusaha menghapus keagungan nama mereka dari
lembaran sejarah, maka usaha tersebut akan mengalami kegagalan. Sebab,
manusia-manusia semacam ini, wujud mulia mereka merupakan jembatan bagi manusia
lain untuk menyeberang menuju kepada kemuliaan. Ucapan-ucapan Amirul mukminin
Ali ibn Abi Thalib A.S sesuai dengan keperluan-keperluan manusia, dan merupakan
penyembuh berbagai macam penyakit yang mengancam kehidupan manusia di dunia
saat ini.
Doktor Qasim
Habib, seorang penulis Muslim terkenal dalam sebuah pendahuluan untuk salah
satu bukunya mengatakan: "Aku persembahkan buku ini kepada mereka yang
hidup ditengah-tengah kaum fakir miskin, namun tetap bersemangat memerangi
kemiskinan dan keterbelakangan. Aku sajikan buku ini untuk pemimpin yang pandai
mempertemukan sikap-sikap lemah lembuh dengan ketegasan dan kasih sayang dengan
disiplin. Aku suguhkan buku ini kepada si pengabdi zuhud yang menghabiskan
malamnya utnuk ibadah dan siangnya untuk puasa, dan akhirnya aku persembahkan
buku ini kepada Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib yang selalu teguh terhadap nilai-nilai
kebenaran, keadilan, kebajikan dan kasih sayang."
Demikianlah
pernyataan Doktor Qasim Habib. Pernyataannya ini mengingatkan kita bahwa Imam
Ali adalah pribadi yang kaya dengan nilai-nilai yang amat mempesona. Tokoh
legendaris Islam ini memiliki keperibadian yang amat sulit untuk ditiru orang
lain, yaitu pribadi yang mempertemukan sifat-sifat terpuji, namun secara
lahiriyah tampak saling bertentangan, seperti contoh-contoh yang disebutkan
oleh Qasim Habib. Ibadah beliau penuh dengan ratapan dan rintihan, namun di
medan laga beliau umpama singa kelaparan menyaksikan musuh-musuh Islam. Tak
satupun musuh yang tidak tumbang menghadapi beliau. Sekalipun beliau sebagai
Khalifah Islam, namun beliau mempunyai pekerjaan yang amat bersahaya seperti
buruh dan tani.
Thomas Carlael,
filsuf Inggris pernah berkata mengenai Imam Ali demikian: "Mahu tidak
mahu, kita telah dibuat cinta kepada Imam Ali. Betapa dia adalah seorang
kesatria besar dan punya karakteristik yang tinggi. Hati nuraninya telah
menjadi sumber yang mengalirkan kasih sayang dan kebajikan. Dia seorang yang
pemberani, namun keberaniannya larut dengan kasih sayang dan kelembutan
hati."
Dibagian lain
ia menulis: "Kami tidak sanggup menahan kata-kata kami untuk memuji dan
menyanjung Ali. Dia adalah kesatri besar dan agung. Dia adalah sumber rahmat,
ihsan serta manifestasi sebuah kebesaran, keberanian dan kelembutan. Slogan
kesatria religius ini tak lain adalah keadilan."
Fuad Jordac
seorang penulis beragama Kristen mengatakan: "Setiap kali kesulitan datang
di dalam kehidupan saya, maka saya berlindung dengan Ali A.S, sebab beliau
adalah penolong setiap orang yang terkena musibah. Beliau adalah sumber
makrifat dan hikmah. Bagi orang-orang dzalim beliau bagaikan petir yang
menyambar, sedangkan bagi kaum tertindas, beliau adalah pelindung yang sangat
penyayang."
George Jordac
seorang cendikiawan Nasrani Libanon. Ia telah banyak mengkaji sejarah hidup
Imam Ali bin Abi Thalib. Antara lain ia pernah mengungkapkan perasaannya
sebagai berikut:
"Wahai
zaman, andaikan dengan segala kekuatanmu..... Wahai jagat raya, andaikan dengan
segala kesanggupanmu engkau bisa menciptakan sosok pahlawan besar, maka sekali
lagi ciptakan manusia seperti Ali, sebab zaman memerlukan orang seperti
Ali."
Dalam bukunya
yang berjudul "Imam Ali: Gema keadilan Insani" antara lain ia
menuliskan: "Setelah Al-Quran, kata-kata Ali adalah contoh balaghah yang
paling tinggi. Dan balaghah Ali senantiasa berguna bagi peradaban manusia. Dan
sungguh bukan suatu yang berlebih-lebihan bila di dunia sekarang, mereka yang
menyulut api peperangan dan menajdi faktor kesengsaraan bangsa-bangsa perlu
menyimak kata-kata Ali ibn Abi Thalib. Mereka perlu menghapalnya."
Dibagian lain
buku ini ia menulis: "Menjauhi kezaliman adalah salah satu prinsip ruh dan
karakter Imam Ali. Prinsip ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Imam Ali
secara keseluruhan... Ali bukanlah jenis orang yang bicara kemudian
mengamalkan, melainkan apa yang beliau katakan berpangkal dari apa yang selalu
beliau perbuat....."
Dalam buku ini,
George Jordac tidak menjelaskan sejarah seorang individu atau abad tertentu,
dan dia menghindari fanatisme golongan untuk menentang golongan lain. Dia
adalah seorang budayawan yang rajin meneliti berbagai persoalan dan pandangan.
Ketika itulah dia melihat pemikiran Imam Ali sebagai sangat berharga. Dia
mencoba memperkenalkan Imam Ali kepada kita untuk mengajarkan nilai-nilai baru
manusia. Buku yang diterbitkan pada tahun 1958 ini sempat menarik perhatian
tokoh-tokoh Islam baik dari kalangan Ahlussunah maupun Syiah. Selain bukan itu,
ia juga menulis buku lain tentang Imam Ali berjudul "Keajaiban Nahjul
Balaghah".
George Jordac
lahir di Libanon Selatan dari keluarga Nasrani. Keluarganya sangat tertarik
dengan masalah-masalah kebudayaan, sastera dan berbagai masalah-masalah
ilmiyah. Menariknya, walaupun menganut agama Nasrani, mereka sangat menaruh
perhatian terhadap Imam Ali ibn Abi Thalib. Tentang ini Jordac menulis:
"Ayah dan
ibuku sangat mecintai Imam Ali. Selain itu kakakku yang berstatus insinyur
besar dan ahli sastera telah membiasakan aku sejak kecil dengan syair-syairnya
yang menyanjung tinggi Imam Ali. Dia berkali-kali memberiku motivasi untuk
membaca Al-Quran dan kitab Nahjul Balaghah."
"Ketika
aku keluar dari sekolah, atau lebih tepatnya kabur dari sekolah, di bawah pohon
aku sering menghapal surah Al-Quran dan berbagai khutbah serta pesan-pesan Imam
Ali. Karena itu, bagaimana mungkin aku tidak menulis sesuatu mengenai Nahjul
balaghah. Mentelaah karya-karya para penulis terkemuka mengenai Imam Ali juga telah
memicu semangatku untuk menulis buku tentang Nahjul Balaghah dalam hal-hal yang
belum sempat ditulis oleh orang lain."
Henry Corbin,
filsuf Perancis mengungkapkan pernyataan sebagai berikut setelah mentelaah
kitab Nahjul Balaghah: "Setelah Al-Quran dan hadith Rasul, Nahjul Balaghah
adalah kitab yang paling penting."
Seorang pakar
Timur Tengah asal Belgia bernama Lamens juga pernah mengkaji kehidupan Imam
Ali. Dia mengatakan: "Untuk keutamaan Ali, cukup kiranya bilamana berita
dan sejarah keilmuan Islam bersumber dari Imam Ali. Dia adalah memori yang
menakjubkan. Ulama-ulama Islam bangga bila perkataannya bersanad kepada Imam
Ali. Sebab kata-kata beliau merupakan argumen yang mematikan dan dialah pintu
kota ilmu."
Jubran Khalil
Jubran, seorang penulis beragama Nasrani mengatakan: "Ali adalah jiwa
universal yang telah menggemakan senandung keabadian di cakrawala Jazirah Arab.
Namun karena figur yang lebih besar dari masanya, maka masyarakat saat itu
tidak tahu siapa dia dan tidak bisa mencerna kata-katanya.... Ali telah
meninggalkan dunia, sementara dunia menyaksikan keagungannya..."
Seorang penulis
Nasrani bernama Michael Naimah menyampaikan kekagumannya terhadap Imam Ali
ketika memberi kata pengantar untuk buku George Jordac demikian:
"Kehidupan
tokoh-tokoh besar bagi kami merupakan sumber kehidupan yang tak akan kering
dari pesan, pengalaman, iman dan harapan.... Kami tidak pernah mengenal putus
asa walaupun untuk satu hari karena kemenangan terakhir orang seperti Ali ibn
Abi Thalib dan orang-orang yang menelusuri jalan mereka dalam kehidupan selalu
menyertai semangat kami pada setiap waktu, walaupun jarak ruang waktu dan
tempat memisahkan kami dengan mereka. Saksi yang terbaik dari pernyataan ini
ialah buku yang tengah anda pegang ini. Karena kitab ini telah menjelaskan
kehidupan salah seorang pribadi besar yang lahir di tanah Arab. Namun ke-Araban
tidak bisa dikatakan sebagai telah mempengaruhinya, dan walupun Islam telah
mendidihkan sumber keutamaannya, namun dia bukan hanya untuk Islam. Kalau hanya
untuk Islam, bagaimana mungkin kehidupannya yang membanggakan itu bisa
membangkitkan ruh seorang penulis Nasrani di Libanon pada tahun 1956."
Sulaiman
Kattani, juga seorang penulis beragama Nasrani banyak mengkaji sejarah hidup
Imam Ali. Dalam menyifati kepribadian Imam Ali, antara lain ia menulis:
"Iman dan
takwa adalah dua mata air jernih yang pernah bergolak di hati beliau dan
mengalir dari lisan beliau. Kebenaran dan keadilan adalah dua tanda keindahan
yang peranannya berhasil beliau goreskan dalam wujud beliau. Beliau selalu
memperindahkan kata-kata penjelasannya kepada orang-orang, namun pada saat yang
sama beliau juga sanggup mengasah pedang untuk mereka."