KONTEKS YANG MELATARBELAKANGI, DAN GAMBARAN KAUM
MISKIN DALAM BALADA BECAK KARYA Y.B.
MANGUNWIJAYA
Oleh
B. Rahmanto (Dibacakan dalam diskusi
“Novel-Novel Romo Mangun: Sastra Hati Nurani” yang diselenggarakan oleh kerja sama Harian Kompas dan Dinamika Edukasi
Dasar,
Surakarta, Rabu
,13 Maret 2013)
1.
Pendahuluan
Dalam
rangka diskusi Forum Mangunwijaya VIII dengan topik “Novel-Novel Romo Mangun:
Sastra Hati Nurani” oleh panitia saya diminta membicarakan keberpihakan Y.B.
Mangunwijaya terhadap anak-anak, perempuan, dan
kaum miskin; konteks seperti apa yang melatarbelakangi opsi dan
obsesinya; serta bagaimana gambaran Mangunwijaya terhadap manusia marjinal itu.
Bagi saya, topik ini sangat menarik, tetapi terlalu luas untuk dibicarakan
dalam diskusi yang terbatas waktunya. Dalam buku saya Mangunwijaya, Karya dan Dunianya (2001), keberpihakan pada rakyat
kecil sudah saya bicarakan dalam bab 5 ketika saya membicarakan cerpen-cerpen
Mangunwijaya yang dikumpulkan dalam Rumah
Bambu (2000). Melalui cerpen-cerpen seperti
“Lampu Warisan” (Juli 1980), “Sungai Batu” (Agustus 1980), “Colt
Kemarau” (Agustus 1980), “Cat Kaleng” (September 1980), “Hadiah Abang”
(September 1980), “Malam Basah” (September 1980), dan “Rumah Bambu” (September
1980), terungkap berbagai masalah yang dialami sehari-hari oleh golongan
masyarakat bawah yang berada di pinggiran atau dipinggirkan, seperti tukang
becak, pedagang barang bekas, pelacur, sopir colt, pencari batu-batu di kali,
petani gurem tak bersawah, dan anak jalanan yang gembel.
Sehubungan
dengan itu, saya ingin menawar dengan hanya membicarakan keberpihakan
Mangunwijaya pada kaum miskin, konteks yang melatarbelakanginya, serta
bagaimana Mangunwijaya menggambarkan kaum
marjinal itu. Agar tidak
terjadi pengulangan, saya ingin membatasi keberpihakan Romo Mangun terhadap
orang-orang miskin dalam novelet Balada
Becak (1985). Berangkat dari novelet Balada
Becak atau Sebuah Riwayat Melodi Yus-Riri (selanjutnya disingkat BB),
tulisan sederhana ini mencoba menggapai konteks seperti apa yang
melatarbelakangi opsi dan obsesinya; serta ingin mendeskripsikan bagaimana
Mangunwijaya menggambarkan keberpihakannya
terhadap kaum miskin yang ada dalam novelet tersebut.
Agar
pembicaraan ini agak runtut, saya ingin mengawalinya dengan memaparkan sinopsis
novelet BB; kemudian meminjam teori
sastra baru yang muncul dan berkembang dua dekade terakhir abad ke-20 yang
dikenal dengan pendekatan New Historicism
(Historisme Baru) yang dipelopori oleh Stephen Greenblatt, yang saya anggap
dapat melancarkan jalan untuk masuk ke dalam konteks seperti apa yang
melatarbelakangi opsi dan obsesinya; dan diakhiri dengan menunjukkan bagaimana
gambaran keberpihakan Mangunwijaya terhadap kaum miskin yang ada dalam novelet
tersebut.
2.
Sinopsis Novelet Balada Becak
Membaca
novelet ini saya seolah bertemu kembali dengan Romo Mangun di pondoknya yang
terletak di pinggir Kali Code itu. Di sela-sela suara riak-riak kecil aliran
air Kali Code, saya seperti terbius mendengar suara Romo Mangun menuturkan Balada Becak secara lisan. Kadang
pelan-pelan, datar, lalu mecucu penuh
ironi, kemudian mengakak, meninggi, dan kembali datar lagi seperti berikut ini:
“…
Nah lagi/, coba lihat itu/, Saudara//. Itu/, itu bukti lagi/ tentang jiwa
bergaya ningrat/. Sekaligus/ prosa yang puisi/, mekanika/ eksakta ketat/,
sekaligus seni tari yang bebas kreatip//. Ya/, datanglah/, itu dia/ yang setiap
pagi saya kagumi/, lelaki desa dengan punggung/, dada/, perut perunggu/,
telanjang/ teruji matahari/, bercelana kastup hitam veteran/ sampai lutut//.
Memikul dua keranjang berat/ penuh pisang ke pasar//. Luar biasa bukan?// A
masterpiece/ of noble elegance! //Tsj!// Akuilah/, akuilah/, apa ada macam dia/
di panggung ballet Moskwa/ atau New York yang tersohor itu?// Atau/ di Taman
Ismail Marzuki pun?// Cara dia berjalan/, cepat/ tetapi seperti terkendali
komputer musik elektronik/, ah/ lihat itu/, tubuh bergoyang luwes/, berirama/,
tangan aksi/ bergaya seperti The Sexy Sisters /sekaligus jenaka/, meriangkan
hati bila kita terundung frustrasi!// Cit-ciyeet/, coba rasakan/ bunyi pikulan
di punggungnya yang berotot/ kenyal/ gempal/ dan kompak/ beserta seluruh tubuh
atasnya/ yang berkilau/ berkeringat/, dan …/ pasti berbau sedap itu/,
cit-ciyeet/, cit-cit- ciyeeet …”// (hlm. 7).
Asyik
bukan? Bagi saya, novelet ini jangan hanya sekadar dibaca dalam hati, tapi
dibacakan! Ya dibacakan! Novelet ini jika dibacakan dengan rima, irama, dan tone yang tepat, akan terasa hidup.
Pelan-pelan akan mengalir apa saja yang dirasakan pengarangnya ketika itu,
sehingga tak terasa pula akan tertangkap maksud dan tujuannya sekaligus
keberpihakannya.
Novelet
BB dikemas dalam 7 (tujuh) bagian.
Bagian
satu (hlm. 7-34) menceritakan lelaki muda lulusan SMA bernama Yusuf (dipanggil
Yus) yang sehari-harinya disibukkan dengan melamun dan mengkhayal, lantaran
gagal melanjutkan kuliah karena tiadanya biaya. Akibat kemiskinan, itulah biang
keroknya. Untuk sementara, Yus ditampung Rahmat (kakaknya), membantu bekerja di
bengkelnya sebagai tukang las. Selain bekerja di bengkel kakaknya, Yus sering
diminta mengantarkan gori milik Bu Dullah
dengan naik becak.
Yus, yang boleh disebut sebagai tokoh
utama novelet ini, di sela-sela mengelas, khayalannya terbang bersama Lilian,
mahasiswi Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada, teman Yus di SMA dulu.Ia
suka pada gadis itu. Tapi, keadaan yang membuat hatinyanya menciut. Yus tukang
las, bukan mahasiswa, sedang Lilian mahasiswi jurusan arsitektur. UGM lagi.
Akibatnya, mengkhayal adalah pelampiasan logis bagi keinginan yang tak
kesampaian. Perjumpaannya
kembali dengan Lilian pun dibuat dramatis. Saat itu Yus sedang istirahat
melamun di becaknya di tengah gerbang di depan gedung perkuliahan Jurusan
Teknik Arsitektur UGM. Dari dalam kampus nampak Lilian naik sepeda kumbang.
Terdengar celoteh dan canda ria sekelompok mahasiswa-mahasiswi yang pulang
kuliah. Lilian nampak melambai-lambaikan tangannya kepada teman-temannya. Saking
asyiknya, Lilian tak menampak ada becak
parkir agak di tengah gerbang kampus. Maka, sesaat kemudian… grobyak, sepeda kumbang Lilian
tersungkur menabrak becak Yus. Tubuh Lilian langsung masuk dalam pelukan Bang
Becak. Selebornya rusak parah (hlm. 13). Astaga, ternyata kecelakaan yang
menggembirakan. Yus ketemu Lilian. Tak ada pertengkaran. Yus kemudian
bertanggung jawab mengelas selebor sepeda kumbang Lilian dengan senang. Dan
sejak itu pulalah bayangan Lilian tak mau lepas dari benak Yus.
Sementara itu, Riri, anak gadis Bu Dullah
si pedagang gori, selalu ikut Yus mengantar gori dengan membonceng di selebor
belakang. Meski malu-malu, diam-diam ternyata Riri menaruh hati pada Yus.
Sementara Yus masih ogah-ogahan. Dengan Yus sebagai pengayuh becak, mereka bertiga
(Bu Dullah yang bawel, bertubuh gemuk, tapi singsat itu, suka naik di atas
gori-gori) melintasi jalan-jalan di pinggiran kota Yogyakarta ke tempat yang
dituju seperti dapat dilihat dalam cover novelet BB goresan Mangunwijaya yang apik ini.
Peristiwa lucu pun sering hadir dalam
momen ini. Gori ditumpuk tinggi di dalam becak, menggunung melebihi ukuran;
akibatnya sebelum gori-gori itu diikat, runtuh berhamburan menggelinding ke
mana-mana. Yus pun suka iseng menyepak gori kecil yang menggelinding ke arahnya.
Celakanya itu gori yang disepak Yus, melesat bak peluru berduri dan jatuh di
antara kernet truk yang sedang bergurau dengan perempuan penjual jamu galian.
Si kernet dengan sewot langsung menyepak balik ke arah Riri yang berdiri dekat
becak. Riri sempat mengelak, dan buk, gori kecil itu menghantam tubuh gemuk Bu
Dullah. Karuan saja ia meledak marah ke arah Yus. Yus membuat sembah sebagai
tanda mohon damai. Bu Dul jengkel berulah meniru-niru gaya sembah pula. Lalu
meledaklah sorak sorai anak-anak yang diikuti tanda sembah pula. Akan tetapi,
tak lama kemudian, Yus, Riri, Bu Dullah dan gori-gorinya meluncur kembali
dengan anggun di jalan raya. Beberapa saat kemudian, Yus nampaknya sedang apes.
Dalam situasi seperti itu, gadis yang selalu mengobsesi lamunannya, mendadak
muncul … Karuan saja Yus kelimpungan. Yus berlindung di balik tubuh Bu Dullah,
tetapi tokh keburu Lilian melihatnya terlebih dulu. Lilian justru meninggali
senyum menawan pada Yus.
Sementara itu, teman-teman sebengkel Yus
tahu, kalau Riri menyukai Yus. Sedang Yus pura-pura tidak tahu. Ia masih tetap
melamunkan Lilian. Lamunan demi lamunan terus menguasai pikiran Yus setelah Bu
Dullah dan Riri masuk pasar. Dalam khayalannya, Yus menjadi orang-orang ternama
dan kaya. Sedang Lilian, dalam khayalannya itu,
jatuh hati pada Yus tanpa ragu. Dan ujung dari lamunan itu, becaknya terperosok di ke dalam selokan bersemak di muka bengkel
abangnya. Alamaaak! (Hlm. 34).
Bagian dua (hlm. 35-39) mengisahkan
Yus menjenguk Pak Kario (ayahnya) yang terbaring sakit dirawat Fifi (Fitri)
istri Rahmat, kakaknya. Pak Kario mengeluhkan kemelaratannya sehingga tidak
mampu menyekolahkan anaknya lebih lanjut. Tak lama kemudian Yus pamit pada
ayahnya untuk menjemput Bu Dullah dan Riri dengan becaknya. Di tengah jalan
mereka bertiga diganggu oleh deru sepeda motor gerombolan pengebut yang nyaris
menggaet Bu Dullah. Untunglah datang polisi Polantas yang melabrak, mengejar
gerombolan tadi. Ternyata sesampainya di rumah, gerombolan pengebut kembali
menggoda Riri. Riri menangis ketakutan. Yus, teman-teman bengkelnya dan semua
pemuda kampung keluar mengepung pengebut sialan itu. Merasa kalah banyak
jumlahnya, gembong pengebut mengajak teman-temannya putar sepeda motor, ngacir
pergi.
Bagian tiga (hlm. 40-46) menceritakan
ronda malam di desa Yus dan Riri yang terletak di pinggir kota. Malam itu Riri
kelimpungan merindukan Yus dan teman-temannya yang main gitar di Gardu Ronda
yang terletak di depan rumah Bu Dullah. Riri tidur menelungkup, diomeli ibunya.
Bu Dullah tak setuju jika Riri menyenangi Yus yang hanya tukang las, sementara
si Jamin anak Pak Lurah Pelemdukuh lebih bisa diharapkan. Tapi Riri tak mau. Ia
tetap merindukan Yus. Terjadi tarik-menarik antara anak dan ibu. Bu Dullah yang
dulu bernama Kasanah anak tunggal lurah desa, akhirnya mengalah. Bu Dullah tak
mengingkari, ketika masih dipanggil Kasanah ia pernah tergila-gila dan jatuh
cinta serta nekad kawin lari dengan pemain ketoprak yang mementaskan lakon
Damarwulan-Menakjingga. Bu Dul berlinang-linang matanya mengenangkan peristiwa
itu. Dan Riri kencang dirangkulnya.
Bagian empat (hlm. 47-51) mengulang
rutinitas becak penuh gori dengan Bu Dul, Riri dan becak Yus menggelinding
tenang menuju kota. Di tengah jalan kembali becak Yus ketemu Lilian. Lilian
menanyakan selebornya. Terjadilah dialog antara mereka berdua yang menyebabkan
Riri sewot. Dialog ini sangat menarik untuk dikutip
“Thank you Miss! Good bye Miss Shelei
Bohr!” Lilian tertawa geli, melambai dan pergi.
Riri,
melirik agak cemburu pada Yusuf, “Temanmu sekarang kok tambah cantik ya.”
“Ooooh,
lebih cantik Bu Dullah.”
Bu
Dul melabrak, “Apa kau bilang? Satu kali lagi, omong apa?” Yusuf pura-pura
naif, “Gori-gorinya Bu Dul kok besar-besar.” Yusuf dipukul Bu Dul. “Seandainya
kau bukan anak Pak Kario, sudah saya gudeg kau!” (hlm. 48-49)
Bagian empat ini ditutup dengan peristiwa yang
sedih. Sekembalinya mengantar gori, Yus ketemu lagi dengan Jauhari mahasiswa
pengamen bergitar yang meminta tolong untuk menyelipkan surat di rumah nomor 10.
Belum sempat menyanggupi, kembali menderu-deru gerombolan pengebut. Becak
ditabrak ramai-ramai dan terguling, ringsek. Roda belakangnya menjadi angka
delapan. Yus terlempar, tapi Jauhari tertabrak berdarah-darah, dan akhirnya
meninggal di rumah sakit. Yus mendapat
warisan gitar.
Bagian lima (hlm. 52-56) menceritakan Pak Haji yang
memesan kap untuk mobil kolt-nya pada bengkel Rahmat. Yos masih asyik memoles
selebor kendaraan Lilian sambil melamunkan bangsal agung resepsi kenegaraan.
Tampak Ibu Dirjen Deparlu bernama Riri, Menteri Gori dan Gudeg Bu Dullah,
kawan-kawan Yus sekampung sebagai jenderal, laksmana, dan diplomat, Pak
Polantas menjadi marsekal menjaga sekuriti. Kepala Negara ternyata ayah Yusuf
Pak Kariosentono, Panglima Besar dijabat Rahmat. Mereka sedang menyambut
kedatangan Sri Ratu Lilian Sarsaparilla. Dan Yus, ternyata menjadi komponis
kesayangan bernama Mister Profesor Yusuf Marsudi. Yus memberi hormat pada Sri
Ratu, mengambil gitarnya melantunkan orkes simfoni TVRI. Setelah itu Yus
berjabat tangan dengan Sri Ratu. Riri penuh kecemburuan. Dan Lilian
Sarsaparilla memandang Yus penuh pertanyaan … tahu-tahu Yus tersadar mendengar
pertanyaan Lilian apakah selebornya sudah selesai diperbaiki. Yus mengangguk.
Hanya sebentar pertemuan itu, dan … rrrrrang … sepeda kumbang Lilian cepat
menghilang meninggalkan Yus yang terpana.
Bagian enam (hlm. 57-59) mengisahkan Yus seorang diri
kerja lembur di bengkel abangnya. Saat itu pukul dua malam, datang sebuah kolt
yang dinaiki dua orang. Pembawa kolt itu meminta Yus untuk mengelas pedal rem
kendaraannya yang patah tanpa dicopot. Yus curiga. Sebab jika permintaan itu
diturut, artinya pedal rem dilas tanpa dicopot, akan sangat berbahaya. Bisa
menyebabkan kebakaran mesin. Apalagi tingkah kedua orang itu mencurigakan. Yus
ternyata berhasil mengelabui mereka walaupun di bawah todongan pistol. Kolt itu
ternyata milik Haji Tauhid. Berkat kecerdikan Yus, kesigapan kakaknya, dibantu
orang-orang kampung, perampokan itu bisa digagalkan, meskipun harus dibayar
dengan luka-luka tembak di badan Yus.
Bagian tujuh (hlm. 60-64) memuat akhir kisahan pendek
novelet ini. Sepulang dari pasar Riri dan Bu Dullah membawa tremos besar yang
berisi es-krim yang dipakainya sebagai hadiah kepada Yus sang “pahlawan” yang
terbaring di amben dengan tangan terbebat. Muncul pula Pak Haji Tauhid yang
menyatakan terimakasihnya kepada Yus sambil memberikan bungkusan yang
diterimakan pada Riri untuk Yus, karena tangan kanan Yusuf dalam perban,
“Dik Rahmat, saksikan. Ini baru tahap pertama. Katanya butuh modal, bukan. Ini
tanpa bunga dan modal juga tidak perlu dikembalikan. Ini grent, ya grent itu nama
internasionalnya. Tetapi menurut ukuran desa harap disebut biasa saja: sekadar
tanda terima kasih. Yah, ini baru Pelita I. Nanti kalau perlu masih dapat
Pelita II Pelita III, begitu menurut cara nasional.” (hlm. 61). Kisahan happy ending ini
berakhir dengan meriah karena Bu Dullah, keluarga Yus, dan bahkan Pak Haji
Tauhid bersama-sama merestui hubungan Riri dan Yus.
3.
Konteks yang Melatarbelakangi Opsi dan Obsesinya
Dewasa
ini, anggapan bahwa karya sastra hanyalah hasil khayalan pengarangnya saja,
perlu ditolak. Tidak sesederhana itu. Demikian juga anggapan bahwa karya sastra
hanyalah tiruan kenyataan (Plato, Aristoteles), atau karya fiksi yang bergerak
dalam sebuah dunia imaginatif (Wellek & Warren, 1971), sebuah dunia rekaan,
dunia lain, atau sebuah dunia alternatif (van Luxemburgh, dkk.1984), yang
dipelajari secara terpisah dari fakta-fakta lainnya seperti ekonomi, politik,
agama, dan kebudayaan adalah pendapat yang menyesatkan. Dalam dua dekade terakhir abad ke-20, telah
muncul paradigma baru pendekatan New Historicism (Historisisme Baru) yang dipelopori oleh Stephen
Greenblatt. Stephen Greenblatt mendobrak kecenderungan kajian tekstual yang
dipandangnya sebagai bersifat ahistoris yang hanya melihat sastra sebagai
wilayah estetis yang otonom yang dipisahkan dari aspek-aspek yang dianggap
berada di luar karya tersebut. Dalam tulisannya yang berjudul “The Touch of the
Real”, Stephen Greenblatt (2005: 6-7) menegaskan bahwa dunia yang digambarkan
dalam karya sastra bukanlah sebuah dunia alternatif melainkan sebuah cara
mengintensifkan dunia tunggal yang kita huni ini. Dalam menganalisis karya
sastra Stephen Greenblatt menekankan dimensi politis-ideologis produk-produk
budaya. Artinya, jika kita akan membaca Balada
Becak karya Mangunwijaya, New
Historicism menyarankan agar teks-teks sastra dan teks-teks nonsastra
dipilih menurut pilihan yang didasarkan pada tema wacana yang akan
dikembangkan.
Oleh
karena itu, membaca novel-novel dan cerpen-cerpen karya Mangunwijaya, jika kita
ingin menangkap apa yang sebenarnya ingin dikemukakannya, mutlak diperlukan
membaca juga esai-esai Mangunwijaya seperti Putung-Putung
Roro Mendut(1978), Sastra dan
Religiositas (1982), Di Bawah
Bayang-Bayang Adikuasa (1987), Putri
Duyung yang Mendamba (1987), Esai-Esai
Orang Republik (1987), Tumbal (1994),
Gerundelan Orang-Orang Republik
(1995), Politik Hati Nurani (1997), Menuju
Indonesia Serba Baru (1998), Menjadi
Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B.Mangunwijaya (1999), dan
sebagainya.
Munculnya
novel Burung-Burung Manyar dan Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa misalnya, Putung-Putung Roro Mendut(1978), Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa (1987), Putri Duyung yang Mendamba (1987), Esai-Esai Orang Republik (1987), Tumbal (1994), Gerundelan Orang-Orang Republik (1995), perlu dibaca dengan serius.
Tentu saja, perlu pula membaca bagaimana proses kreatifnya. Menurut
Mangunwijaya, proses terjadinya Burung-Burung Manyar dan novel-novelnya yang lain,
kebanyakan meminta waktu relatif banyak melalui jalan coba-dan-sesat.
Burung-Burung Manyar semula dimaksudkan hanya sebagai sebentuk novel untuk
“mengabadikan” kota keluarganya, Magelang, dengan latar belakang Perang Kemerdekaan,
khususnya medan laga Magelang-Ambarawa. Novel itu terdorong oleh kejengkelannya
mengenai pemalsuan-pemalsuan dan pemitosan peristiwa-peristiwa sejarah yang
tidak sehat. Mangun ingin mengimbau kawan-kawan sebangsa untuk merenungkan
kembali pertanyaan dasar kehidupan; dan khususnya bertanya kembali maksud
esensi Revolusi 1945 itu. Teto dan Larasati, si dia yang gagal dan dia yang
berhasil, si dia yang ikut musuh dan dia yang memihak diri kita, Kurawa dan
Pendawa, Kama dan Ratih, dan sebagainya, benarkah mereka saling berlawanan?
Apakah definisi musuh? Pengkhianat? Pejabat bupati Setankopor yang pejuang
gerilya RI ternyata lebih pengkhianat dari Teto yang bertekad menyelamatkan
negara dari kerugian sekian milyar per tahun akibat ulah suatu multinational
corporation. Apakah sikap Ibu Marice yang melacurkan diri kepada komandan
Kenpeitai suatu kebusukan atau kebajikan? Dan Revolusi 1945 itu sendiri, apakah
benar pihak “kita” selalu baik dan “mereka” selalu musuh yang jahat? (dalam
Pamusuk, 1985: 80). Begitulah Mangunwijaya memberondong. Dan kita akan
memperoleh masukan lain melalui esai-esainya yang dulu bertebaran di Kompas seperti: Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa
(1987), Putri Duyung yang Mendamba
(1987), Esai-Esai Orang Republik (1987),
Tumbal (1994), dan Gerundelan Orang-Orang Republik (1995).
Terkait
dengan itu, jangan pula lupa, bahwa karya sastra sebagai simbol verbal,
objeknya adalah realitas. Realitas itu dapat berwujud realitas sosial masa kini
ataupun realitas yang berupa peristiwa sejarah. Apabila realitas itu berupa peristiwa
sejarah seperti dalam novel Burung-Burung
Manyar, Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa dan Trilogi Roro Mendut, sebenarnya
mengandung maksud untuk
(1) menafsirkan realitas sejarah ke dalam bahasa imajiner
dengan maksud memahami peristiwa sejarah menurut kemampuan/ interpretasi
pengarang sendiri,
atau (2) menjadi sarana pengarang untuk menyampaikan pikiran,
perasaan, dan tanggapannya tentang suatu peristiwa sejarah dan dapat dipakai
pengarang untuk menolak atau mendukung suatu tafsiran peristiwa sejarah yang
sudah mapan. (Lukacs,
1974: 45; lihat juga Kuntowidjojo, 1987). Jadi pembaca
tak perlu heran Rara Mendut dalam Trilogi
Rara Mendut bukan bunuh diri tetapi dibunuh oleh penguasa; atau Arok-Dedes-nya Pramudya Ananta Toer
sangat berbeda dengan Ken Arok dan Ken Dedes dalam sejarah Singosari.
Lalu
bagaimana dengan novelet BB? Novelet BB dapat dikategorisasikan sebagai
novelet yang bersumber pada peristiwa realitas sosial masa kini. Seperti halnya
prosa liris Pengakuan Pariyem karya
almarhum Linus Suryadi yang menafsirkan tokoh Pariyem yang terjebak dalam
belantara kepriayian Ngayogyakarta; lewat novelet BB Mangunwijaya menafsirkan realitas sosial masa kini dengan tokoh
tukang becak berusia muda di tengah belantara urban kota Yogyakarta di masa
orde baru yang militeristis dan mendewakan teknologi. Perihak teknologi, dengan
sangat tajam Mangunwijaya menulis artikel berjudul “Salam” dalam serangkaian
catatan perjalanan dari jantung Pulau Jawa ke berbagai penjuru dunia dalam buku
Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa (1987:
3), bahwa teknologi dan industri modern saat ini bukan lagi salah satu bengkel,
melainkan imperium magnum, yang
sering lebih kuat kuasa daripada agama dan negara. Mobil bukan hanya berarti
baja dan mesin, melainkan dunia karet, aspal dan minyak bumi, beton, kapal,
pelabuhan, bank, asuransi, pengendalian riset nuklir juga, dan … manipulasi
bermilyar-milyar. Bahkan merupakan sesuatu yang sering takut kita omongkan,
tetapi toh sekali saat harap diketahui khalayak ramai … kontrol terhadap
universitas, kabinet-kabinet dan parlemen negara mana pun, ideologi negara,
mental dan moral pembesar, sikap wanita, pembangkangan angkatan remaja dan
manipulasi anak.
Untuk
membuktikan keberpihakan Romo Mangun terhadap orang miskin, perlu pula dibaca
pula Romo Mangun di Mata Para Sahabat (1999),
sebuah buku yang diterbitkan setelah Romo Mangun meninggal, yang berisi
kesaksian hampir lima puluh orang, mulai dari Presiden Habibie, para menteri,
jendral, uskup, ilmuwan, politisi, rohaniwan, wartawan, dan lain-lain. Presiden
Habibie menyebutnya sebagai kawan sejati, pejuang yang memberi perhatian khusus
kepada umat manusia pada umumnya, khususnya bangsanya, lebih khusus lagi
orang-orang yang menderita, yang membutuhkan perhatian. KH Abdul Muhaimin
mengatakan Romo Mangun selalu bersuara keras dalam membela kaum miskin. Meutia
Hatta melihatnya Mangun sebagai pelanduk yang mencoba menggali permasalahan
massa kini dengan melihat ke masa lalu, dan selalu memperjuangkan rakyat kecil.
Mgr. F.X. Prajasuta, MSF, uskup Banjarmasin mengatakan di tengah-tengah
masyarakat yang umumnya berorientasi pada harta, prestasi, kursi, gengsi dan
popularitas, hidup Romo Mangun yang berorientasi pada mutu hidup menjadi sangat
bermakna. Orientasinya ini nampak antara lain pada kepeduliannya terhadap
orang-orang kecil yang hidupnya dalam keadaan tidak manusiawi. Th. Sumartana
mengakui dengan jujur bahwa Romo Mangun memang konsisten berada dalam posisi
selalu membela mereka yang kecil. Dan masih banyak lagi.
Sementara
itu, teks-teks sastra lain yang sezaman dan sejenis dengan novelet BB dapat dilacak pada karya-karya drama
Arifin C. Noer misalnya. Tahun 1969 Arifin mementaskan karyanya yang
berjudul Mega-Mega, dan setahun
kemudian Kapai-Kapai. Kedua lakon itu
berbicara tentang orang-orang yang terpinggirkan dan papa. Akan tetapi, di
dalam kehidupan yang papa, masih selalu ada harapan, yang datangnya dari
kekuasaan yang di atas (Tuhan). Dalam Mega-Mega,
harapan datang lewat mimpi-mimpi Koyal, sedangkan dalam Kapai-Kapai harapan akan datang lewat cermin tipu daya Emak yang
selalu datang jika Abu putus asa. Boleh jadi, karena tahun 70-an wawasan
estetika sastra Indonesia (baik novel, cerpen,puisi, maupun drama) berkembang
ke arah nonkonvensional, Mangunwijaya yang kreatif pun mencobanya melalui
novelet BB dan Durga Umayi. Maka tak terlalu berlebihan jika Cara Ella Bouwman
(1999: 350) berpendapat bahwa Balada
Becak adalah karya satiris, sangat memikat, kocak, dan lain daripada yang
lain. Menurutnya, novelet BB lebih
dekat dengan novel Durga Umayi ketimbang
Burung-Burung Manyar dan Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa. Untuk
membuktikan semua itu tentu masih dibutuhkan penelitian yang suntuk.
4.
Gambaran Manusia Marjinal dalam Balada
Becak
Tokoh-tokoh
dalam BB yang dapat dikategorisasikan
sebagai manusia marginal antara lain: Yusuf, Rahmat, pekerja-pekerja di bengkel
las, anak-anak kecil di sekitar bengkel, pedagang gori (Bu Dullah) dan
pembantu-pembantunya, pemuda-pemuda pengangguran, dan mahasiswa akademi musik yang
miskin. Tak hanya Yusuf atau Yus yang dideskripsikan Mangun dengan apik, tetapi
juga Bu Dullah, Pak polisi, dan para peronda di kampung. Dari hasil pembacaan
saya atas novelet BB yang belum
suntuk dan bertolak dari konsep pendekatan sastra New Historicism , ternyata keberpihakan Mangunwijaya kepada mereka
bukan asal berpihak, tetapi menunjukkan kemungkinan penyebabnya serta bagaimana
Mangunwijaya menyikapinya, sangat sinkron dengan esai-esainya (lihat antara
lain Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa)
dan tanggapan orang lain terhadapnya (Romo Mangun di Mata Para Sahabat).
Begitu
novelet ini dibuka, latar kisahan yang dipaparkannya langsung mengindikasikan
keberpihakan sang pengarang terhadap tokoh dan lakuan yang dimainkannya.
Biasanya, seorang pengarang melukiskan latar ceritanya secara netral, tetapi
Mangunwijaya dengan gaya berbahasanya yang khas, langsung memihak ketika
menuturkan secara implisit kota mana yang memiliki universitas favorit: … Ya, mana lagi, Yogyakarta tentu saja (hlm.
7). Dan ketika melukiskan keramaian lalu lintas kota favorit itu, Mangun pun
menaruh perhatian besar terhadap keberadaan andhong,
kendaraan favoritnya karena ada alasannya, “… lihat! (…) andhong. Perhatikan! (…) dengan disain dinamis progresip tetapi
jelas terkena pengaruh si Belanda jenis yang kikir dulu.(…) Roda empat! Jadi
gengsilah, tepatnya bercitra ningrat, ya ningrat. Walaupun cuma desa pinggiran
kota, tetapi ningrat bukan? (Hlm.7)
Dan
tatkala melukiskan bagaimana tongkrongan lelaki desa, Mangun pun
terang-terangan memihak, bahkan memujanya sebagai lebih hebat postur tubuhnya
ketimbang pemain ballet di panggung ballet Moskwa atau New York, bahkan di
Taman Ismail Marzuki.
Ya,
datanglah itu dia yang setiap pagi saya kagumi, lelaki desa dengan punggung
dada perut perunggu, telanjang teruji matahari, bercelana kastup hitam veteran
sampai lutut. Memikul dua keranjang berat penuh pisang ke pasar. Luar biasa
bukan? A masterpiece of noble elegance! Tsj! Akuilah, akuilah apa ada macam dia
di panggung ballet Moskwa atau New York yang tersohor itu? Atau di Taman Ismail
Marzuki pun? Cara dia berjalan cepat tetapi seperti terkendali komputer musik
elektronik, ah lihat itu, tubuh bergoyang luwes berirama, tangan aksi bergaya
seperti The Sexy Sisters sekaligus jenaka meriangkan hati bila kita terundung
frustrasi! Cit-ciyeet, coba rasakan bunyi pikulan di punggungnya yang berotot
kenyal gempal dan kompak beserta seluruh tubuh atasnya yang berkilau
berkeringat dan pasti berbau sedap itu cit-ciyeet, cit-cit- ciyeeet; perpaduan
keluwesan seni ningrat dengan efisiensi ekonomi enerji yang relevan untuk
negara berkembang yang sedang membangun. Setuju bukan? Jangan tertawa! Ini
bukan omong balon. Atau lebih tepat, tertawalah bahagia, karena kita masih
memiliki penjaga-penjaga kebudayaan pribumi seperti dia yang pantas dibanggakan
(hlm. 7-8).
Atau
ini
Cit-cit-ciyeet!
Indah luwes dipandang memang tubuh-tubuh petani kita. Siapa bilang tubuh lelaki
tidak bisa indah selain gagah? Minggir sedikit, dia lewat. Nah, betul ‘kan, bau
tubuh dia harum, bukan? Keharuman lelaki lain dari keharuman wanita. Itu kita
harus tahu. Jangan percaya pada iklan-iklan zaman sekarang. Itu semua multi-national-corporation! Tetapi sang
petani kita ini, dia authentical personal corporation;
mulia, agung, bertanggung jawab. Tidak miskin petani itu, siapa bilang. Dia
kaya. Tetapi kekayaan harap jangan cuma dihitung dengan uang. Otot-ototnya,
kilauan tubuhnya, kesehatannya, jiwa jujurnya, mutu koreografi tari luwes penuh
irama cara ia memikul itu, bahkan capingnya yang berkecurut bidang lengkung
matematika Einstein, tidak ada dari semua itu yang diasuransi, tetapi assurance
yang tercitra dari dia, kepastian, keyakinan, ah ya, keningratan yang berjiwa
kedaulatan rakyat, nah itulah itulah! Ah, lebih tepat: kedaulatan rakyat yang
berjiwa ningrat, ya itulah, itulah!(hlm. 8-9)
Lalu
bagaimana ia menggambarkan priayi pendatang di kota Yogyakarta? Bukan
Mangunwijaya jika tak meledek. Jiwa ningrat yang sering disatusamakan dengan
mental priayi itu, anak keturunannya sungguh menyedihkan, tidak mau bekerja
kasar sedikit pun. Maunya jadi pegawai atau priayi.Mengira kalau sudah
berijazah SMP atau SMA sama dengan calon-calon pemimpin rakyat. Tetapi Mangunwijaya tak menyalahkan mereka. Bukan kesalahan mereka, bukan kesalahan
Saudara, bukan kesalahan saya, bukan kesalahan siapa pun, tetapi kesalahan kita
semua (hlm. 9). Mangun menunjuk banyaknya salah tafsir tentang arti
kemajuan dan industrialisasi ditambah status anggota PBB, itulah biang keroknya
(Baca dan bandingkan lebih jauh dengan Di
Bawah Bayang-Bayang Adikuasa).
Bagaimana
Yus tokoh utama novelet BB ini dilukiskan oleh Mangunwijaya? Kita ikuti saja
terlebih dulu kutipan ini
Nah
itu, lihat tidak, pemuda yang berjalan seperti kuda andong yang belum
emansipasi itu! Rambutnya penuh paselin mengkilau, mempesona memang, dan muka
serta sosoknya bolehlah sebagai modal jadi peragawan iklan mobil sedan atau
merk bolpoin. Tetapi, ya, sama sajalah! Oh, anak baik dia. Kukenal keluarganya,
semua. Habis, tetangga dekat. Tetapi ya itulah tadi, salah tapsir. Terus terang
saja, sudah lama seorang pengarang lokal punya niat ingin menyusun novel dengan
pemuda itu sebagai tokoh. Entahlah, novel perjuangan Perang Kemerdekaan atau paling
sedikit yang mengarah ke pendidikan patriotisme generasi penerus demi
pembangunan atau macam itulah. Tetapi masih ragu-ragu pengarang itu, disuruh
jadi pemeran apa pemuda itu. Semangatnya, ya semangatnya itulah yang belum ada
pada pemuda itu.(Hlm. 9-10)
(…)
Si Yusuf itu begitu, lingkunganlah yang
salah. Lebih tepat, kita semualah yang salah. Ya, betul, sekarang Yusuf
sementara ikut abangnya. Daripada menganggur. Sebetulnya trampil dia, tangannya
seperti Rahmat, api serta besi seperti boneka saja ditangannya, yang bisa
dimain-mainkan seperti apa saja. Cuma dia masih belum lepas dari dunia
khayalannya. Itulah, sayang, (hlm. 11).
Yusuf
yang dipanggil Yus ini anak tukang becak bernama Kariosentono. Ibunya sudah
tiada. Hanya lulusan SMA. Mau lanjut tak ada biaya. Akhirnya lontang-lantung.
Untuk mengisi waktu agar tak terperosok kepada lamunan demi lamunan, Rahmat
memberinya pekerjaan sebagai tukang las. Akan tetapi, hari-harinya ternyata tetap saja dipenuhi
khayalannya disela-sela pekerjaan mengelas, membakar, menyambung besi. Apalagi
setelah berjumpa dengan Lilian bekas teman SMA-nya yang cantik, gelegak
khayalannya makin menjadi-jadi. Tetapi Mangunwijaya tetap membela tokoh
utamanya walaupun Yus bertingkah seperti itu. Ucapnya, “… dia masih belum lepas dari dunia khayalannya. Itulah … “ Pembelaan
yang logis bukan? Dan untuk membuktikan bahwa anak Kariosentono yang melarat
itu tak semuanya bertingkah seperti Yus jika sudah mapan, dipaparkannya Rahmat
pemilik bengkel yang sukses (bahkan dalam memperebutkan Fitri istrinya yang
cantik itu) seperti kutipan berikut ini.
Ya, Rahmat tukang las, tetapi tukang
yang bagaimana, nah ini perlu dicatat. Dia ahli, percayalah. Rapi caranya ia
mengelas, halus tetapi kuat dan ekonomik sekali. Betul. Mulai dari titik nol
dia berangkat. Kelas satu STM dia sudah beli tang dan drei. Kelas dua, sudah
punya tanggem cukup besar. Kelas tiga, tamat, sudah lengkap mesin lasnya.
Kompresor dia beli dengan kredit Pak Haji Tauhid, itu rumahnya nomor dua dari
ujung sana.
(…)
Laku sekali bengkel si Rahmat itu.
Apalagi istrinya cantik … nah, nah, itulah, itulah. Mana ada sopir atau kernet
tidak akan tertarik. Lalu mobil tidak rusak dibikin rusak, singgah di bengkel
Rahmat. Apa boleh buat, itulah dunia. Tetapi jangan salah tapsir tentang ah
siapa nama istri Rahmat itu … eh, sebentar, ah ya, Fitri. Jelas Fitri namanya.
Tidak bisa lain. Fitri tidak berlagak tidak memancing. Bukan salahnya dia
cantik. Tetapi kerja keras dia tidak segan, jangan kira. Sudah dipinang anak
dosen, tetapi dia memilih Rahmat. Betul! Dosen ‘kan ayahnya. Biar cuma pemegang
bengkel, tetapi bukan bengkel ayahnya. Maklumlah, ayah Rahmat cuma pilot becak
.. nah itulah! Persis! (hlm. 10-11)
Yang
menarik adalah bagaimana Mangunwijaya mendeskripsikan lamunan-lamunan Yus pada
saat ia mengantarkan gori-gori bersama Bu Dullah dan Riris dengan becaknya,
sementara itu ia kelimpungan membayang-bayangkan peristiwa-peristiwa
asyik-masyuknya dengan Lilian gadis pujaannya. Lamunan pertama adalah peristiwa
besarlamunan Yus menghadiri upacara besar pemberian hadiah luar biasa di
lapangan universitas kepada juara Sayembara Nasional Teknologi Tepat untuk
Bangsa Indonesia. Bapak Rektor (ternyata abangnya sendiri, Rahmat), beserta
seluruh Senat Mahaguru (adalah rekan-rekan Yusuf sebengkel dan sekampung),
sedangkan para tamu undangan dan mahasiswa (orang-orang tetangga sekampung).
Lilian selaku penata acara, mengumumkan bahwa juara pertama adalah Yusuf
Kariosentono, mahasiswa honorer teladan Fakultas Bengkelogi. Yus masuk dengan
mengendarai forklift besar dengan di atasnya setumpuk gori
yang dimahkotai Bu Dullah yang melambai-lambai kepada hadirin. Forklift
menarik kereta bayi dengan Riri di dalamnya. Lilian mengelu-elukan sang
Pahlawan. Persis di muka Lilian,Yus mempersilakan Lilian duduk di sampingnya.
Lilian bahagia, merangkul sang kekasih, lalu ikut duduk di kursi sopir di bawah
jepretan wartawan-wartawan dalam dan luar negeri. Riri jengkel melempari Yusuf,
Lilian, wartawan-wartawan dan para mahaguru dengan cuilan-cuilan gori. Menyusul
upacara penyerahan tanda bintang kehormatan dari Bapak Menteri, yang ternyata …
Pak Haji Tauhid. Yus disemati bintang tetapi berjoget kesakitan karena peniti
bintang menusuk dadanya. Bergemuruhlah sorak-sorai barisan anak-anak, yang
ternyata adalah anak-anak sekampung yang menolong mendorong becak tadi. Acara
selanjutnya dirayakan dengan parade Angkatan Darat, Laut, Udara dan Polisi.
Disusul oleh Barisan Prajurit Keraton Mataram yang antik, dengan mars musik
serta gayanya yang khas pribumi, anggun tetapi jenaka. Barisan formal ditutup
oleh kejutan Semar-Gareng-Petruk-Bagong dan satu kompi pelawak-pelawak wanita,
kaum Cangik dan Limbuk, yang mengawali karnaval rakyat penuh gelora spontan
yang menyegarkan hati seperti di Rio de Janeiro (hlm. 20-21). Parodi tersebut
di atas jelas ke mana maksudnya. Pemerintah Indonesia saat itu gemar mengadakan
sayembara teknologi tepat guna sampai tingkat pusat. Universitas pun
dilibatkan, dan siapa pemenangnya pun sangat mungkin untuk digilirkan menjadi
semacam arisan.
Selain
melamun, sepulang mengantar gori Yos juga bertemu dengan pengamen muda yang
ternyata mahasiswa akademi musik. (Mangunwijaya pun tak melupakan komunitas
musik jalanan ini). Yos mengantar mereka tanpa bayaran. Di tengah perjalanan
itulah muncul dialog dan nyanyian yang sarat dengan kritikan kontekstual masa
itu (hlm. 26-27).
“Kalau
kami sial, barangkali tahun muka kami bergelar DR juga.”
“Lalu
ke mana?”
“Ah,
transmigrasi masih bisa juga.”
“Atau
cari janda yang kaya lagi muda. Adik tahu alamat janda kaya?”
“Tahu.”
“Mana
alamatnya?”
“Ya,
di becak ini.”
“Heh?”
“Itu
tadi juragan gori saya tadi.”
“Uwooo!”
“Janda
juga manusia. Jangan dijadikan ejekan. Mereka sering lebih arif dan lebih
manusia karena lebih banyak makan garam pahit. Dan menderita.”
“Uah!
Kok hebat Anda. Ahli filsafat. Dari mana?”
“Kemarin
malam mendengar itu di sandiwara radio.”
“Uwooo!”
“Kami punya nyanyian tentang janda yang penuh
hikmah.”
Dan
langsung kedua mahasiswa pengamen tadi bernyanyi:
“O Janda muda yang
kaya, nomor teleponmu berapa? Beta mah’siswa yang sedang tenggelam, menganga
hari depan yang duh-aduh suram.”
“Saya janda kaya
lagi muda, harta karunku tiada terkira. Maka aku butuh makhluk penjaga, anjing
Herder yang cendekia.”
“Aduh
Mak! Mak! Mak! Betapa sengsara, mah’siswa tanpa kertas Bank Indonesia.”
“O Janda muda
melarat, mana kau punya alamat? Beta mah’siswa yang sedang tenggelam menganga
hari depan yang duh-aduh suram.”
“Saya janda muda
tapi miskin. Jualanku tempe dan tahu asin. Maka aku butuh pemikul bambu ‘ntuk
mengangkut daganganku.”
“Aduh Mak! Mak! Betapa sengsara mah’siswa
tanpa kertas Bank Indonesia.”
“Ya
sudah, aku menyerah. Jadi tani jadi tukang, asal jujur berhati riang, pasti
jumpalah dara indah.”
“Lihat Mak! Mak! Anakmu gembira Kini menantu
Dirut Bank Indonesia.”
Dan
akhirnya, yang paling mengasyikan adalah penggambaran epidose Bu
Dullah-Riri-Yus-Lilian dan Pak Polisi lalu lintas. Riri diam-diam menyenangi Yus.
Riri suka membonceng di selebor belakang becak yang dikemudikan Yus, sedangkan
di bak becak menggunung gori yang ditongkrongi Bu Dullah di atasnya. Walau
sangat dekat tubuh Riri dan Yus, tetapi khayalan Yus justru nglambrang mengejar
ke mana sepeda kumbang Lilian meluncur. Itulah misteri cinta.
Bagi
saya, penggambaran gerak polah Bu Dullah amatlah lengkap dan sangat masuk akal.
Bu Dullah berasal dari kelas priayi kampung. Ketika remaja ia bernama Kasanah
putri tunggal pak lurah. Ia kepencut
pemain Damarwulan, kawin lari sehingga melahirkan Riri. Tak dikisahkan
bagaimana Bu Dullah sampai menjanda. Yang kita tahu ia telah menjadi pedagang
gori yang tiap pagi diantar Yus ke pasar. Sebagai kelas pedagang (Mangunwijaya
menjulukinya sebagai panglima gori), tak menghiraukan protes
pembantu-pembantunya lantaran gori terus ditumpuk sebanyak-banyaknya (apalagi
kalau bukan demi ongkos sekecil-kecilnya), meski akibatnya gori berhumbalangan
ke mana-mana sehingga membuat anak-anak kampung mengakak kesenangan (hlm. 15).
Dan ia kembali memerintahkan agar gori ditata lagi. Lalu pembantu-pembantunya
mengangkatnya untuk menaiki gunung gorinya, dan duduk di puncaknya seperti patung Dwarapala di tengah komentar
macam-macam. Ia tak ambil pusing komentar seluruh dunia. Yang penting, efisien (hlm.
16).
Bu
Dullah, perempuan pedagang gori kelas teri ini, dilukiskan Mangun bukan hanya
efektif efisien dalam menjalankan usahanya, tetapi juga pandai berkomunikasi
dengan birokrat yang mungkin bisa merugikannya jika ia tidak pandai. Hal ini
nampak ketika Yus yang sableng itu, teledor dalam mengemudikan becaknya. Yus
saat itu sedang asyik membayangkan kebahagiaannya bersama Lilian sehingga ia
tidak melihat lampu lalulintas sudah menyala merah, tetapi becak terus melaju.
Karuan saja Pak Polantas meniup peluit dengan sengit ke arah becak Yus. Mereka
harus menghadap Pak Polantas yang berwajah Gatutkaca dengan kumisnya yang tebal
seram. (Lalu meluncurlah penilaian
terhadap polah tingkah alat negara yang satu ini khas tipikal Mangunwijaya).
Pak Polantas yang berkumis Gatotkaca itu justru lucu karena agak tolol. Dengan
wajah sok wibawa ia memandang sebentar kepada Yusuf, lalu beralih ke arah Riri. Astaga, wajah Mas Polantas tadi
dalam fantasi Riri tiba-tiba menjadi topeng bancak-dhoyok. Riri tak dapat
menahan tawanya. Topeng fantasi Riri semakin lucu sampai Riri tertawa tak
ketulungan. Ibunya bersungut-sungut. Tetapi tiba-tiba Bu Dullah terbuka
matanya. Pak Polantas ini jelas salah satu kemenakannya. Berteriaklah sang
saudagar gori penuh gembira.
“O
Allaaaah! Kan ini si Samsi. Hei … ketemu lagiii! Kau jadi jenderal ya sekarang.
Ah, sudah lama tak jumpa. Bagaimana kabar sang adinda istri? (Sang Gatutkaca
tampak sama sekali tidak senang disapa begitu kelewat akrab di tengah jalan,
apa lagi dalam situasi fungsionaris Penegak Hukum. Ia sangat khawatir mengenai
gengsinya.) He-e lho Riri, ini kemenakan kita, anaknya Mbok Mungkir, ah itu lho
penjual pecel yang selalu memalsu bayem dengan kangkung itu lho! Jembatan Code
pas pal listrik yang sudah sejak zaman Adam setengah roboh tak pernah
diperbaiki lagi, ingat tidak. Ah, ya memang, dulu masih menggembala kerbau,
kan gitu ya Si. Di Bong Cina Terban, hayo akuilah! Sungguh mukjijat, sekarang
sudah jadi Gatutkaca begini, jenderal apa kolonel Si? Ah ya beginilah Riik,
dunia berputar kayak dremolen Stambul (Mas Polantas sedih sia-sia
berikhtiar agar wanita bawel itu berhenti omong). Dulu si Samsi ini kan …
hihihiii aduh perutku kaku hihihiii-aaahihaa, masih telanjang cuma pakai sabuk
thok dan aduh-aduh hihiahaaa perutku-perutku, burungnya masih merdeka dan
berdaulat, hiyahaaahii, gimana Si, kok diam saja. Eh, eh … kau masih bujangan
atau sudah ganti lagi istrimu yang ketujuh? O dunia, o dunia!” (hlm. 21-22).
Itulah
taktik namanya. Biarpun sang Gatotkaca kebingungan, Bu Dullah terus nyerocos.
Ketika ada jip patroli lewat, Gatotkaca malang itu dipanggil masuk dalam jip.
Dan pada saat itu pula Yus menggenjot becaknya dengan didorong Riri sekuat
tenaga, dan dengan luwes pula Riri meloncat pada selebor belakang. Mereka
selamat sampai restoran gudeg langganan Bu Dul.
Deskripsi
sang Gatotkaca yang agaknya terpikat wajah Riri pun diulang kembali sore
harinya. Kali ini untuk menunjukkan kekuasaan dan kehebatannya, ia bak
pahlawan, mengejar gerombolan sepeda motor yang mau mengganggu perjalanan Yus,
Bu Dullah dan Riri. Tapi naas, kembali dialami Pak Polantas yang grusa-grusu tanpa perhitungan matang
itu. Ketaktulusan akan selalu mengalami nasib yang tak menguntungkan dalam
kisahan Mangunwijaya.
Mas
Polantas Gatutkaca tadi pagi! Bukan main senyumnya memamerkan serangkaian gigi
yang jayawijaya, beberapa di antaranya terlapis emas. Ia berhenti di muka
becak, berkecak pinggang jual tampang. Bu Dul datang melambai-lambai dan mereka
omong-omong sebentar, tetapi ya begitulah begitulah, Riri tak dapat lagi
mengendalikan bayangan-bayangan topeng dan tawanya. Tiba-tiba datang
menderu-deru segerombolan pemuda pengebut yang nyaris menggaet Bu Dullah. Bu
Dul marah-marah menyuruh Mas Polantas mengejar anak-anak berandal itu. Sekaranglah
saatnya sang Gatutkaca dapat menunjukkan kebolehannya
sebagai pengayom rakyatnya. Demonstratip ia menyalakan mesin dan dengan penuh
gaya hebat ia meloncat di atas sepeda motornya mengejargerombolan tadi. Tetapi
baru berjalan kira-kira 10 meter, sepeda motornya macet. Jengkelia turun.
Ternyata soal sepele bensinnya habis. Sialan! Babi Buntung! Kunyuk Konyol!
Bangsat Bongkot! Apa boleh buat. Becak dan penumpang-penumpangnya tenang
meneruskan perjalanan pulang. Naik pitam sang Gatutkaca menendang ban muka, sampai
dia kesakitan sendiri. (Hlm. 37)
5.
Penutup
Demikianlah
beberapa contoh kutipan dalam novelet BB
tentang bagaimana Mangunwijaya mendeskripsikan keberpihakannya terhadap kaum
marginal. Melalui novel-novelnya yang lain, karya-karya sejenis dan sezaman,
esai-esainya, bahkan coretan gambarnya, akan terdeteksi dan terlacak apa opsi
dan obsesi seorang pengarang terhadap tokoh-tokoh serta bagaimana ia bersikap
terhadap tokoh-tokoh dalam karyanya tersebut.
Daftar
Pustaka
Eneste,
Pamusuk. 1986. Mengapa & Bagaimana
Saya Mengarang. Jakarta: Gunung Agung.
Greenblatt, Stephen, 2005. “The Touch of the Real” in The Greenblatt Reader
Stephen Greenblatt. (Edited by Michael Payne). Malden, MA: Blackwell Publishing.
Horton, John and Baumeister, Andrea T. 1996. “Literature,
philosophy and political theory” dalam Literature
and the Political Imagination. London: Routledge.
Kuntowidjojo. 1987. Budaya
dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lukacs,
George. 1974. The Historical Novel. London:
Merlin Press.
Mangunwijaya,
Y.B. 1985. Balada Becak atau Sebuah
Riwayat Melodi Yus-Riri. Jakarta: Balai Pustaka.
——————
—– . 1987. Di Bawah Bayang-Bayang
Adikuasa. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Pers.
Priyanahadi,
Y.B. 1999. Romo Mangun di Mata Para
Sahabat. Yogyakarta: Kanisius.
Rahmanto, B. 2001. Y.B.
Mangunwijaya: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo.
Sindhunata (editor).1999. Menjadi
Generasi Pasca-Indonesia Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya. Yogyakarta: Kanisius.
Van Luxemburg, J. dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra (terj. Dick Hartoko). Jakarta:
Gramedia.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1971. Theory of Literature. New York: A
Harvest Book Harcourt, Brace & World, Inc.
Pringwulung, Sabtu siang 9 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar