Oleh
Ronny
Agustinus
Belakangan
ini, para budayawan sepuh Indonesia sedang ramai dimintai pertanggungjawaban
sejarah oleh generasi muda mengenai “peran” mereka dalam tragedi 1965. “Peran”
yang dimaksud di sini secara khusus merujuk pada keterlibatan mereka dalam
proyek-proyek kebudayaan antikomunis yang disokong oleh Congress for Cultural
Freedom (CCF), sebuah operasi terselubung (covert
action) Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat. CCF adalah
tangan penggerak operasi global AS di bidang kebudayaan untuk meluaskan
dominasi ekonomi-politik liberal mereka.
Bahwa
CCF adalah operasi CIA bukanlah isapan jempol belaka. Fakta ini sudah dibongkar
jauh-jauh hari sejak April 1966; pertama oleh reportase Tom Wicker di New York Times, dan kedua oleh reportase majalah Ramparts
melalui redakturnya, Warren Hinckle. Barangsiapa menyangsikan “kualitas”
reportase-reportase tersebut, perlu dicatat bahwa Ramparts dianugerahi George Polk Memorial Award for Excellence in Journalism atas kerja investigatifnya itu. Berpuluh tahun
kemudian, dengan meneliti arsip-arsip yang telah dideklasifikasi, Frances
Stonor Saunders merinci keterkaitan CIA-CCF dalam buku Who Paid the Piper? CIA and
the Cultural Cold War (1999).
Mengutip
kalimat pembukaan Saunders dalam bukunya: “Selama puncak Perang Dingin,
pemerintah AS menyediakan sumber daya yang sangat besar untuk program rahasia
propaganda kebudayaan [...] Program ini dikelola dengan sangat rahasia oleh
tangan spionase Amerika, CIA. Di pusat aksi ini terdapat Congress for Cultural
Freedom yang dijalankan oleh agen CIA Michael Josselson [...] Semasa puncaknya,
Congress for Cultural Freedom punya kantor di 35 negara, mempekerjakan lusinan
personil, menerbitkan lebih dari 20 majalah bergengsi, menggelar
pameran-pameran seni rupa, memiliki layanan kantor berita, menyelenggarakan
konferensi-konferensi internasional papan atas, dan menganugerahi para musisi
dan seniman dengan penghargaan-penghargaan dan pertunjukan publik.” Tujuannya:
“Menjauhkan kaum intelegensia dari Marxisme menuju pandangan yang lebih
akomodatif terhadap ‘cara Amerika’.”[1][1]
Fakta-fakta
inilah, yang meskipun sudah diketahui umum, rupanya tetap tak hendak diakui
oleh para penulis dan intelektual Indonesia yang terlibat. Operator CCF untuk
Asia, Ivan Kats, yang menjalin hubungan dekat dengan para intelektual Indonesia
untuk menggarap kerja CCF di sini, dibela oleh Goenawan Mohamad dengan dibilang
“tak tahu” soal hubungan CCF dengan CIA dan “terkejut” saat membaca laporan New York Times karena “tak menyangka”.[2][2]
Almarhum Mochtar Lubis menyangkal keras kaitan itu, sementara Taufiq Ismail
mengaku “tertegun” setelah mengetahuinya.[3][3]
Para
pembela mereka juga kerap mengungkapkan dalih yang kira-kira berbunyi demikian,
"CIA kan bukan intel Melayu. Kerjanya sangat rapi. Operasinya saja covert action. Maka sangat wajar dan
bisa dimaklumi kalau orang-orang CCF maupun para penulis yang bekerjasama
dengan mereka tidak tahu menahu bahwa mereka bekerjasama dengan CIA."
Argumen
itu mungkin betul. Tapi yang jadi masalah di sini: adakah tindakan etis yang
dilakukan oleh para penulis dan
budayawan itu setelah fakta keterkaitan CCF-CIA dibongkar oleh reportase New York Times dan Ramparts pada 1966? Kita bisa menengok ke Amerika Latin untuk
mencari pembandingnya.
Jelas,
di mata AS saat itu, Amerika Latin sebagaimana Asia Tenggara adalah wilayah
prioritas yang harus disterilkan dari pengaruh komunis. AS punya banyak alasan
untuk merasa waswas. Tahun Baru 1959 dibuka dengan kaburnya diktator boneka AS
dari Kuba, Fulgencio Batista, akibat ditumbangkan oleh pasukan gerilya Fidel
Castro. Revolusi Kuba dan kemenangan Castro punya dampak luar biasa pada
kesadaran geo-politik subbenua itu. Negara-negara Amerika Selatan mulai melihat
dirinya sebagai satu kesatuan politik yang mengalami rute historis serupa dan
tumbuhlah rasa sebagai “satu Amerika Latin.” Dari pengalaman gerilya itu pula
Che Guevara menuliskan teorinya yang terkenal, teori foco, yaitu bahwa garda depan pasukan bersenjata bisa menyulut
gerakan-gerakan revolusioner sejenis di sepenjuru Amerika Latin.
Untuk
menangkal pengaruh Revolusi Kuba (dan dengan demikian ide-ide Marxis) di bidang
pemikiran dan kebudayaan, sekretariat CCF di Paris merasa perlu menerbitkan
sebuah majalah baru untuk menggantikan majalah CCF di Amerika Latin sebelumnya,
Cuadernos del Congreso por la Libertad de la Cultura (disingkat Cuadernos). Cuadernos terbit triwulanan sejak Maret 1953 dan sukses membangun
jaringan di beberapa negara dari Cile hingga Uruguay.[4][4] Namun pasca
Revolusi Kuba 1959, Cuadernos dirasa
sudah terlampau kuno. Kalangan pembacanya terpusat pada generasi yang
menggelorakan semangat Republikan dalam Perang Saudara Spanyol, dan tidak mampu
masuk ke segmen pembaca lebih muda yang menjadikan Revolusi Kuba sebagai
kiblatnya. Pada 1963 Cuadernos disudahi,
dan dari kantor CCF yang sama di Paris digodok sebuah majalah baru bernama Mundo Nuevo (Dunia Baru).
Di
bawah keredaksian Emir Rodríguez Monegal, kritikus sastra asal Uruguay yang
bisa kita sebut sebagai “Ivan Katsnya Amerika Latin”, Mundo Nuevo dibuat menjadi lebih “sastrawi” dibanding Cuadernos. Dengan semboyan “una revista de diálogo” (atau “majalah
dialog”), ia juga menyatakan diri “apolitis” atau tidak memihak satu pandangan
politik tertentu. Klaim ketidakberpihakan ini terasa janggal menurut kritikus
Jean Franco, karena jelas-jelas “Mundo
Nuevo dimaksudkan untuk menandingi pengaruh Revolusi Kuba pada imajinasi
para penulis muda serta pengaruh jurnal kebudayaan Kuba Casa de las Américas
[yang] merayakan perjuangan
pembebasan negara-negara Dunia Ketiga, gerakan Black Power di AS,
perjuangan gerilya, dan tradisi anti-imperialisme Amerika Latin.”[5][5]
Di
sini kita bisa melihat jelas perbedaan ideologis Mundo Nuevo di bawah Rodríguez Monegal dengan Casa de las
Américas di bawah kepemimpinan Haydée Santamaría. Apabila Casa de las
Américas berusaha membentuk
“geografi kultural baru” dengan menempatkan Amerika Latin dalam konteks
perjuangan pembebasan nasional negara-negara Dunia Ketiga, Mundo Nuevo berusaha
menempatkan Amerika Latin ke dalam “akar universal”-nya di Eropa. Mirip
sekali dengan proyek “humanisme universal” di Indonesia dengan klaim
universalisme dan ketidakberpihakannya. Apabila Haydée Santamaría mengkritik
para penulis Amerika Latin yang tinggal di Eropa, Rodríguez Monegal justru
mengklaim bahwa para penulis besar Amerika Latin adalah yang tinggal di luar
negeri. Perbedaan cara pandang ini
juga kentara jelas saat dua jurnal yang mereka kelola membahas topik yang sama,
misalnya peringatan 100 tahun kelahiran penyair Nikaragua Ruben Darío. Apabila Mundo
Nuevo menempatkan pencapaian Darío dalam jajaran modernisme tinggi, setara
dengan para penyair Eropa seperti Stéphane Mallarmé atau Rainer Maria Rilke, Casa
de las Américas melihat Darío sebagai prototipe gerilyawan Kuba yang siap
menghadapi imperialisme AS.[6][6]
Atas
prinsip itu jugalah (“menempatkan kebudayaan Amerika Latin dalam konteks yang
internasional sekaligus aktual,” sebagaimana disebutkan dalam editorial edisi
perdananya), Mundo Nuevo memilih
berkantor pusat di Paris. Tentunya ada juga kebutuhan praktis terkait
pembiayaan dari CCF yang bermarkas di kota yang sama[7][7] serta
koordinasi dengan jurnal-jurnal lain terbitan CCF. Mundo Nuevo dicetak 5.000-6.000 eks dan diedarkan di seluruh negara
Amerika Latin serta sedikit di AS dan Eropa. Tak pelak lagi ia adalah bagian
dari apa yang oleh Sekretaris Eksekutif CCF sekaligus agen CIA Michael
Josselson disebut sebagai “grande famille
(keluarga besar) majalah-majalah antikomunis.” Artikel-artikel Mundo Nuevo diterjemahkan dan dimuat di
pelbagai jurnal terbitan CCF lainnya, sebagaimana Mundo Nuevo juga berhak menerbitkan terjemahan artikel-artikel dari
“keluarga besar majalah antikomunis” lainnya yang dibiayai CCF.[8][8]
Dengan
misinya yang kosmopolit dan kontemporer, serta peluang untuk diterjemahkan ke
bahasa-bahasa selain Spanyol, Rodríguez Monegal berhasil menarik banyak penulis
Amerika Latin dari pelbagai kecondongan politik untuk bekerja sama atau
mengirimkan karyanya ke Mundo Nuevo.
Tersebutlah nama-nama yang sedang naik daun seperti Carlos Fuentes, José
Donoso, Augusto Roa Bastos, Guillermo Cabrera Infante, Octavio Paz, Gustavo
Sainz, Gabriel García Márquez, Mario Vargas Llosa, dan Julio Cortázar—nama-nama
yang nantinya menjadi nama-nama besar dan mendunia dalam apa yang disebut
sebagai “boom” sastra Amerika Latin.
Maka dalam satu hal, Mundo Nuevo punya
peran “mempromosikan” terlebih dahulu para penulis ini kepada pembaca Eropa
sebelum “boom” sastra sungguh-sungguh
terjadi.[9][9]
Petikan karya-karya yang kini menjadi “kanon” sastra Amerika Latin era boom terlebih dulu terbit di Mundo Nuevo sebelum terbit utuh sebagai
novel (misalnya potongan Cien años de
soledad karya García Márquez, Cambio de piel karya Carlos Fuentes,
dan Tres tristes tigres karya Guillermo Cabrera Infante). Rodríguez
Monegal bahkan mengajak García Márquez menjadi kontributor tetap Mundo Nuevo dengan tawaran upah AS$400
sebulan.
Sebelum García Márquez sempat
memberi jawaban atas tawaran itu, kehebohan keburu pecah akibat terbitnya
reportase The New York Times dan Ramparts. Artikel-artikel di kedua media
itu diterjemahkan ke bahasa Spanyol dan dicetak ulang di koran Uruguay Marcha serta Casa de las Américas,
musuh bebuyutan Mundo Nuevo. Sebagian di antara para penulis di atas mengambil sikap melancarkan
kecaman terbuka atas akal-akalan Mundo Nuevo. Perlu dicatat di sini
bahwa Mario Vargas Llosa dan Julio Cortázar sejak awal bersikap skeptis
terhadap proyek ini dan paling enggan berkontribusi. Sedangkan Cabrera Infrante
tak merasa bermasalah dengan afiliasi CIA karena ia sendiri bentrok dengan
rezim Castro dan memutuskan eksil dari Kuba. Sementara bagi para penulis yang
secara jelas menyatakan haluan politik kirinya, seperti García Márquez yang
berteman karib dengan Fidel Castro, dikuaknya fakta ini benar-benar membuatnya
merasa “dikadali” (“cornudos”). Ia dan Roa Bastos menyesali
kontribusinya dan menyatakan takkan pernah berhubungan lagi dengan Mundo
Nuevo, sebagaimana terbaca dari suratnya kepada Rodríguez Monegal:
“Percayalah bahwa saya tidak punya
syak wasangka terhadap mata-mata di dunia nyata. Saat Anda mengajak saya
bekerja di Mundo Nuevo, banyak kawan
yang selera humor politiknya lebih rendah dari saya mengingatkan tentang
kecurigaan umum bahwa CCF menjalin hubungan luar nikah dengan CIA Amerika
Serikat [...] Singkat kata, saya yakin cerita soal mata-mata ini tak
terlukiskan selama kita semua dengan jujur tahu permainan apa yang tengah kita
mainkan. Tapi sekarang sepertinya CCF sendiri tidak tahu permainan mereka, dan
dengan keterlaluan ini sudah melewati batas-batas humor dan memasuki ranah
sastra fantasi yang tak terduga dan menggelincirkan. Atas situasi ini, Tuan
Direktur, tentu tidak mengejutkan apabila Anda yang paling pertama paham bahwa
saya tidak akan bekerjasama lagi dengan Mundo
Nuevo, yang telah menutup-nutupi kaitannya dengan organisasi yang telah
membawa saya dan banyak kawan lain ke dalam situasi dikadali ini.”[7][10]
Rodríguez Monegal sendiri membantah
kaitan dengan CIA tersebut dan tetap bersikeras menyatakan Mundo Nuevo independen. Dalam penjelasannya kepada pembaca di edisi
Mei 1967, ia tekankan bahwa Mundo Nuevo “bukanlah
organ pemerintahan atau partai manapun, kelompok atau sekte apapun, kecondongan
religius atau politik apapun, melainkan sebuah jurnal yang disunting
semata-mata seturut keputusan redakturnya yang merupakan satu-satunya pihak
yang bertanggungjawab dalam memilih materi yang diterbitkan.”[7][11]
Mungkinkah Rodríguez Monegal
sebenarnya juga tidak tahu kaitan CCF-CIA sebagaimana Ivan Kats dibilang tidak
tahu? Beberapa bukti menyatakan sebaliknya, terutama surat-surat Rodríguez
Monegal sendiri ke para petinggi CCF termasuk Michael Josselson, Pierre
Emmanuel, dan Shepard Stone pasca pecahnya skandal. Dalam surat-suratnya ke
Josselson dan Stone, Rodríguez Monegal mendesak agar skema pembiayaan Mundo Nuevo diambil alih oleh Ford
Foundation dan agar Ford Foundation menyebarluaskan pernyataan pers bahwa Mundo Nuevo memang telah didanainya
sejak awal.[7][12] Rodríguez
Monegal berharap pernyataan pers ini bisa membantah kaitan antara jurnalnya
dengan CCF-CIA. Ia berharap bisa mengubah karangan ini menjadi kenyataan! “Il faudra convertir cette fiction en
réalité,” demikian tulisnya dalam surat kepada Pierre Emmanuel di CCF
(Emmanuel ini seorang penyair Perancis dan pengurus CCF yang –kebetulan—sempat
diperkenalkan kepada Goenawan Mohamad oleh Ivan Kats di kantor CCF, Paris,
meski konon tak lebih dari 30 menit).[7][13]
Permohonan Rodríguez Monegal
dikabulkan: Ford Fundation mengambil alih skema pembiayaan Mundo Nuevo, tapi tanpa
pernyataan pers yang diharap-harapkannya itu. Pada 1968 Rodríguez Monegal
mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi Mundo
Nuevo dan hingga wafatnya terus
bersikeras bahwa jurnalnya hanya pernah didanai oleh Ford Foundation dan tak
pernah oleh CCF. Kantor Mundo Nuevo dipindah
ke Buenos Aires dan arah jurnal itu bergeser lebih ke ilmu sosial daripada
sastra. Kualitasnya secara umum jauh menurun akibat sedikitnya penulis yang
masih mau menjadi kontributornya. Ford Foundation memberi tenggat pembiayaan
sampai tahun 1971 dan mengharapkan Mundo
Nuevo bisa mandiri secara finansial sesudahnya. Karena tidak sanggup,
akhirnya majalah itu pun tutup pada tahun tersebut.
Dari sini kita bisa melihat, para
budayawan sepuh Indonesia ternyata juga memilih cara Rodríguez Monegal untuk
terus membantah kaitan antara CCF-CIA dengan proyek-proyek kebudayaan yang
mereka lakukan sekitar 1965 dan sesudahnya, sekalipun bukti-bukti menyatakan
sebaliknya. Pasca skandal terkuak, agen-agen CIA di dalam CCF mundur. CCF
dibubarkan dan berganti nama menjadi International
Association for Cultural Freedom (ICAF), tapi proyek ICAF berjalan
terus. Tak satu pun dari budayawan tadi yang melakukan kecaman publik atas
kerja CCF di Indonesia, tapi juga tak ada satu pun yang berani berterus terang
menyatakan persetujuan –sebagaimana Cabrera Infante—atas keterlibatan CIA dalam
ketegangan politik di Indonesia masa-masa itu. Yang ada hanya penyangkalan. Dan
ini lagi-lagi menguatkan sinyalemen Frances Stonor Saunders bahwa kerja
propaganda budaya ini memang harus menyangkal keberadaannya sendiri (“a central feature of this programme was to
advance the claim that it did not exist.”)[7][14]
Maka janganlah terlalu berharap akan adanya pertanggungjawaban sejarah dalam
waktu dekat, karena memang sepertinya sudah menjadi “tugas” sang budayawan
untuk terus menyangkalnya.
[7][1]
Francis Stonor Saunders, Who Paid the
Piper? CIA and the Cultural Cold War (London: Granta, 1999), hlm. 1.
[7][2]
Goenawan Mohamad, “Jawaban untuk Martin: Bagian Pertama,”
10 Desember 2013.
[7][3]
Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca
1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi
Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2013), hlm. 92.
[7][4]
Marta Ruiz Galvete, “Cuadernos
del Congreso por la Libertad de la Cultura : anticomunismo y guerra
fría en América Latina,” El
Argonauta Español 3 (2006).
[7][5]
Jean Franco, The Decline and Fall of the
Lettered City: Latin America in the Cold War (Cambridge, Mass.: Harvard
University Press, 2002), hlm. 45. Buku yang mengupas secara mendalam Mundo Nuevo sebagai kepanjangan tangan
politik kebudayaan CCF dan imperialisme AS adalah karya María Eugenia
Mudrovcic, Mundo Nuevo: Cultura y Guerra Fría en la década del 60 (Buenos
Aires: Beatriz Viterbo, 1997).
[7][6]
Lihat Russell St. Clair Cobb, “Our Men
in Paris? Mundo Nuevo, the Cuban Revolution, and the Politics of
Cultural Freedom,” disertasi di University of Texas, Austin, Agustus 2007, hlm.
3-4.
[7][7]
Mundo Nuevo dikelola di bawah
manajemen Instituto Latinoamericano de Relaciones Internacionales (ILARI), yang
juga menerbitkan tiga majalah lainnya yakni Aportes, Cadernos
Brasileiros, dan Temas. Pada 1966 ILARI menerima dana AS$260.000
dari CCF, dan anggaran terbesarnya (sejumlah AS$80.000) diperuntukkan buat Mundo Nuevo. ILARI sendiri didirikan
langsung oleh Michael Josselson sebagai organisasi proxy dengan akta legal organisasi di Swiss. ILARI kemudian
mewarisi semua kantor, peralatan, dan personalia CCF di Argentina, Brasil,
Cile, Peru, Uruguay, membuka kantor-kantor baru di Paraguay dan Bolivia, serta
menutup kantor yang sudah ada di Meksiko dan Kolombia. Lihat Mudrovcic, op.cit., hlm. 25.
[7][8]
Cobb, op. cit., hlm. 28.
[7][9]
Dalam memoarnya mengenai masa-masa ini, José Donoso menyebut Mundo Nuevo-lah yang paling
bertanggungjawab atas “boom” sastra
Amerika Latin (“boom” di sini berarti
lonjakan karya sastra Amerika Latin yang diterjemahkan dan diterbitkan di luar
negeri). Lihat José Donoso, Historia personal del “boom” (Barcelona:
Editorial Anagrama, 1972).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar